Saturday, January 7, 2012

Penyihir Hujan




Patra mengangkat wajahnya dari layar komputer di mejanya. Mendengarkan suara langkah kaki yang khas itu. Dan menatap trotoar depan rumahnya.

Perempuan tersebut berjalan dengan separuh menunduk di senja yang didominasi biru itu. Senja kali ini terlalu terik untuk dicintai. Panasnya masih menyengat.

Seperti biasanya, ia memakai rok. Di bawah lutut atau semata kaki. Kadang polos, kadang berbunga-bunga, kadang sewarna pelangi. Dengan sepatu bersol tipis favoritnya.

Perempuan tersebut, berhenti sejenak. Mendongakkan kepalanya dan mengusap peluh di dahinya. Seakan berkata, "kenapa engkau jahat sekali, jingga? Terikmu membakar. Seharusnya hanya Tuan Besar Matahari yang boleh begitu!!"

Perempuan tersebut menggoyangkan kepala, menengadahkan kepala dan mengucap sebaris kalimat dari bibirnya..

Rapalan mantra.

Sang jingga mendadak muram. Mengubah rautnya menjadi kelabu. Dan titik-titik besar air pun mulai luruh.. Ia tersenyum dan menari diiringi gemuruh langit di atasnya dan kecipak riuh di kakinya.

Perempuan itu tertawa. Dengan tawa keras dan renyah yang memancing orang lain ikut tertawa. Patra pun ikut tertawa. Menikmati kegembiraan perempuan itu meski berada di bawah lindungan atap. Dan tetap tersenyum sambil mengawasi perempuan tersebut berlalu di tengah rintik hujan. Dengan langkah sedikit melompat, seolah menari.

Patra tak pernah tahu namanya. Tak pernah berani keluar, menyapa dan menanyakan namanya. Ia hanya tahu bahwa perempuan itu menyukai hujan. Dan sanggup menghadirkan hujan ketika ia mau.

Baginya perempuan itu adalah penyihir dengan mantranya. Seorang pemuja hujan. Seperti Patra yang sedikit demi sedikit, terpisah rintik hujan, memuja perempuan itu.

...

Jakarta, 7 Januari 2012
08.36 am

No comments:

Post a Comment