Wednesday, December 10, 2014

Friday, December 5, 2014

Kamu Tahu Kenapa Aku Mencintaimu?

Kamu tahu kenapa aku mencintaimu?

Dia menelengkan kepalanya dengan pandangan bertanya padaku.

Aku menunduk, mengetikkan barisan kata melalui tuts hitam di hadapan

Aku mencintaimu, karena kamu orang pertama yang tidak menyerah dengan kekeras kepalaanku
Aku mencintaimu, karena kamu yang selalu memelukku ketika aku marah dalam diam
    Mengetahui, di balik semua kemarahanku ada sedih yang tak sanggup kutahan sendiri
Aku mencintaimu, karena pesanmu yang menanyakan berapa gelas kopi yang kutenggak hari ini
     Ketika kamu jauh di belahan bumi yang lain
Aku mencintaimu, karena senyumanmu yang tak pernah lepas melihat wajah jelek bangun tidurku di pagi buta seperti ini
Aku mencintaimu, karena rambut acakmu akibat terpaan angin musim dingin, katamu hasil terburu-buru pulang untuk berbicara denganku
Aku mencintaimu, karena berjuta hal kecil yang bisa kuceritakan padamu tapi tidak pernah kamu anggap remeh
     Dan hari-harimu yang selalu kuceritakan padaku

Aku mencintaimu, karena seluruh kata yang tepat untuk mendeskripsikan cinta ada dalam kalimat itu

Ketika aku mendongak, kamu hanya menatapku sambil tersenyum
Katamu, "Kamu tahu, bukanlah suatu hal yang sulit untuk mencintaimu."

Dan aku, jatuh cinta lagi, kepadamu

----------
Malang, 5 Desember 2014
03.57 AM

Di tengah kejaran deadline
Di tengah internet yang tersengal
Di tengah kerinduan yang menumpuk

I love you like all of the rights words compile into that sentences...

Monday, November 10, 2014

Percakapan Tanpa Kata



Kamu, aku dan secangkir kopi panas di hadapan

Bahu yang saling menempel
Tangan yang saling menggenggam
Sesekali terlepas hanya untuk menyesap

Sembari memandangi hujan rintik di luar
Yang membuat banyak orang bergegas
Dan aroma manis muffin yang menggantung di sekeliling kita

Percakapan tanpa kata
Mengalir deras seperti hujan di luar sana

Tentang kamu
Tentang aku
Tentang jarak yang membentang
Dan waktu yang melambat

Tentang kita
Yang tak akan lekang oleh waktu

......

Malang, 10 November 2014

Because you, complete me
Thank you

Sunday, October 19, 2014

Walk In Other People's Shoes



Malang, 12 Oktober 2014

Draft tulisan ini sudah ada di kepala saya sejak beberapa minggu yang lalu. Namun, karena satu dan lain hal, saya baru bisa menuliskannya hari ini. Ruangan tempat saya menulis kali ini hiruk pikuk dan dipenuhi bau pizza dan kopi dengan obrolan milik pengunjung yang datang dan siaran pertandingan bola yang dipasang pada volume rendah.

Beberapa waktu yang lalu, ketika saya memanggil salah seorang staff karena absensinya, penjelasan saya dipotong di tengah-tengah dengan kalimat, “oke, lebih baik tidak perlu dijelaskan panjang lebar karena saya memiliki pekerjaan yang jauh lebih penting dibandingkan masalah absensi yang sepele seperti ini.”

Saya tertegun dengan jawaban tersebut, kemudian tersenyum.

Di awal saya memasuki dunia perhotelan, saya cenderung menjadi manusia apatis yang cuek bebek. Buat saya, saya memiliki deskripsi pekerjaan tersendiri yang harus saya kerjakan, seperti juga semua rekan kerja yang lain. I do my own business and you do your own. If we got complaint from the guest, well, too bad, but it’s definetely not my business.

Bad attitude, eh? Banget!

Semua itu berubah dengan kedatangan #PapiBos saya.

Berbeda dengan pimpinan sebelumnya, di bawah kepemimpinan #PapiBos ini kami belajar untuk berpikir dan bekerja sebagai sebuah tim. Kalimat favorit dari beliau adalah, “if one department is suffer, then all of us suffering.” Buat saya, beliau seperti alarm rusak yang tidak pernah bosan mengingatkan kami mengenai pentingnya kerjasama antar tim. Tidak peduli anda bagian dari operasional tim atau back office tim. Kami diajarkan bahwa kami adalah sebuah kesatuan, tim. Titik.

Salah satu bentuk aplikasi kerjasama tim ini adalah ketika ada acara besar yang dilaksanakan di hotel atau pada saat hotel penuh dengan situasi back to back (tamu lama check out pukul 12 siang dan tamu baru masuk pukul 3 sore). Acara besar ini biasanya ada sekitar 200 orang tamu yang akan mengadakan acara di luar ruangan atau di convention kami. Pada saat-saat seperti itulah, kami semua – tidak peduli apapun posisi dan departemen anda – diharapkan untuk membantu.

Hasilnya? Sebagai personalia, saat ini saya cukup tahu bagaimana cara memoles peralatan makan, menata meja, melipat serbet dengan beberapa gaya, menuangkan air minum, dan membersihkan meja. Stripping linen dan making bed? No prob, I can help. Bikin ronde? I can...

Membantu rekan-rekan yang berasal dari departemen berbeda ini membuat saya memahami tuntutan kerja yang harus mereka hadapi setiap harinya. Menjadi waiter mungkin terlihat mudah, pada kenyataannya, saya membutuhkan 2 bungkus koyo hangat untuk saya tempelkan di sekujur tubuh yang pegal-pegal karena otot tertarik. Jadi roomboy yang cuma bersih-bersih itu ternyata beda jauh dengan kenyataannya. Ada berlapis linen dengan nama-nama eksotis yang beratnya... minta maaph banget, berat beud. Kalau anda ingin kurus tanpa perlu ikut keanggotaan gym, silakan melamar ke housekeeping department. Otot terbentuk, bobot tubuh berkurang, bentuk tubuh jadi seksi berotot.

Hari ketika saya mencoba berjalan menggunakan sepatu rekan-rekan kerja saya di bagian operasional adalah hari dimana saya belajar bahwa sebagai bagian dari sebuah tim, kami tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Kegagalan maupun kesuksesan dari sebuah departemen adalah kegagalan dan kesuksesan bagi semua. Karena dalam sebuah tim, tidak ada bagian yang terlalu kecil maupun terlalu besar, tidak ada bagian yang lebih penting dibandingkan bagian lainnya. Semua bagian, kecil maupun besar, semuanya penting dan terhubung satu sama lain. Tidak peduli seragam seperti apa yang anda kenakan.

Itulah mengapa, saya hanya tersenyum mendengarkan jawaban merendahkan yang dilontarkan staff tersebut.

Bisa jadi, karena saya merasa kasihan dengan dia yang tidak mengetahui esensi menjadi bagian dari sebuah tim.

Well, bekerja sebagai seorang personalia berarti harus mempersiapkan mental (plus kopi dan obat migrain untuk kram otak) bertemu dengan mereka yang unik karena melontarkan pertanyaan maupun pernyataan yang membuat saya selalu belajar hal baru, berpikir kembali sampai menggelengkan kepala. Apapun itu, saya bersyukur karena selalu mempelajari hal baru dan mereka memberikan inspirasi untuk tulisan-tulisan seperti ini.


Cheers,
Amel

Friday, August 29, 2014

Tentang Mereka Yang Tidak Pernah Menyerah

Malang, 29 Agustus 2014

Pagi itu, adalah hari yang diawali seperti biasa bagi saya. Mengobrol santai dengan teman kantor paling favorit sembari menunggu komputer menyala. Mendadak, pintu ruangan kami diketuk dan salah satu supervisor serta staff memasuki ruangan.

Mereka menjelaskan bahwa mereka ingin meminta ijin untuk memajukan  jam kerja staff tersebut untuk beberapa hari, karena dia akan mengikuti ujian Paket C selama empat hari. Saya terpana. Hanya bisa terdiam ketika staff tersebut mengulurkan surat dari Dinas Pendidikan berisi permohonan ijin dan jadwal ujiannya.

Staff kami tersebut lelaki pendiam berusia 40 tahun yang bertugas untuk merawat kebun sehingga selalu terlihat berwarna-warni apapun musimnya, masih bersemangat untuk mengikuti ujian kelulusan kesetaraan SMA. Ujiannya akan berlangsung mulai pukul 2 siang, oleh karena itu, dia meminta ijin untuk masuk kerja mulai pukul 5 pagi sehingga bisa mengikuti ujian tersebut. Saya sempat bertanya kepadanya, “Pak, masuk kerja jam 5 pagi, pulang nanti khan jam 1 ya, jam 2 udah ujian. Apa nggak capek? Nanti nggak konsen lo.” Dan dia menjawab, “ya nggak apa-apa, bu, namanya juga kerja sama sekolah ya gini ini. Pasti bisa. Sudah biasa kok.”

Apakah kami menyetujui permintaannya? Tentu saja.

Setelah mereka meninggalkan ruangan kami, saya memulai seluruh rutinitas sebelum rapat harian dimulai. Tetapi, otak saya tidak mau berhenti berputar. Saya tertohok dengan percakapan singkat kami pagi itu. Bagaimana bisa, seseorang yang jauh lebih tua daripada saya, berkeluarga dan bekerja secara fisik masih mau untuk melanjutkan pendidikannya. Bagaimana bisa, seseorang yang terlihat sudah memiliki pekerjaan baik masih mau bersemangat untuk mendapatkan ijazah SMA yang bisa jadi tidak akan perlu dia gunakan. 

Dan mengapa saya, yang masih muda dan mampu, tidak bisa memiliki secuil semangat yang dia tunjukkan barusan.

Peristiwa pagi itu membuat saya membuka kembali kaleng doa saya malam itu. Semua permohonan, doa dan mimpi yang saya minta namun menguap sia-sia ketika saya kehilangan semangat untuk mengejarnya dan menjalani hidup seperti biasa-biasa saja.

Hari itu, saya terduduk di depan buku catatan yang sudah terbengkalai untuk entah berapa lama. Mencatat dan merajut kembali semua mimpi yang sempat saya lupakan. Karena pagi itu, saya mendapatkan peringatan, bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil untuk dikejar selama kita memang benar-benar menginginkannya.

Jadi, apa mimpimu? Karena mungkin mereka bukan tak teraih, mereka hanya menunggu semangatmu untuk menjadikan mereka nyata.

Cheers,
Amel

P.s : Dear Pak San, tulisan ini buat bapak. Terima kasih karena sudah memberi saya contoh luar biasa pagi itu.


Pulang

Malang, 29 Agustus 2014

Pagi ini, saya masih terbangun dengan kebas. Perasaan bosan dan tersesat yang menggelayut beberapa hari terakhir ini masih membungkus saya melewati jam demi jam. Dan saya masih tidak tahu bagaimana harus menghilangkannya.

Salah satu rutinitas pagi saya adalah scrooling sosial media, saya punya beberapa akun yang untungnya diisi oleh orang-orang menarik. Pagi ini saya membaca tentang teman yang kehilangan mentor politiknya, teman yang menceritakan pengalamannya naik gunung baru-baru ini dan teman yang ingin pulang.

Pulang. Kata sederhana yang berarti banyak bagi anak rantau. Sesederhana  merindukan keluarga atau orang yang dicintai. Sesederhana kembali ke pelukan seseorang. Sesederhana menghirup dan merasakan semua bau, rasa dan hal-hal yang familier. Yang didekap di dalam dada hampir sepanjang hidup dan dibawa kemana pun kita pergi.

Namun, hari ini, hari kesekian saya dikelilingi perasaan kebas yang tak ketahuan ujung pangkalnya ini. Ketika saya membaca status teman yang ingin pulang tersebut, saya bertanya kepada diri sendiri. Apakah konsep pulang itu? Apa arti rumah? Apakah rumah dan pulang bisa diartikan sebagai suatu kesatuan? Tempat dimana begitu banyak hal tercinta berkumpul ataukah seseorang atau orang yang kita cintai? Apakah rumah hanya sekedar tempat tinggal? Atau mengenai mereka yang begitu melekat di hati.

Saya percaya bahwa di mana hartamu berada, di situ pula hatimu berada.

Tetapi, hari ini, sambil mendengarkan suara pagi, saya kembali mempertanyakan arti pulang.

Cheers,
Amel


Sunday, August 24, 2014

Pilihan

Malang, 24 Agustus 2014

Beberapa tahun yang lalu – 10 tahun yang lalu lebih tepatnya,  ketika lulus dari SMA dan dihadapkan pada pilihan untuk menentukan jurusan di perguruan tinggi, saya sempat bingung untuk menentukan apa yang ingin saya pelajari. Antropologi – mata pelajaran favorit saya karena bisa mempelajari budaya suatu suku ataupun bangsa – namun, universitas yang membuka fakultas antropologi saat itu hanyalah Universitas Cendrawasih, pilihan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh kedua orang tua saya karena jauh dan tak punya prospek masa depan kata mereka; ada  Akuntansi – karena saya merasa bahwa cukup mengerti mata pelajaran ini; ada komunikasi – fakultas baru di Universitas Brawijaya yang sedang menjadi tren tahun itu selain Desain Komunikasi Visual. Atau pilihan terakhir, hukum. Bukan karena saya menyukai undang-undang yang menurut saya ruwet, tapi karena menurut saya, jika kita mengetahui suatu peraturan dengan baik, maka kita bisa juga mengerti celahnya. Bukankah sebagian besar penjahat kerah putih adalah mereka yang sebenarnya lebih mengerti aturan daripada para orang awam? Sesederhana dan selicik itu.

Menjadi pilihan kedua saya ketika mengikuti ujian penerimaan mahasiswa baru di Universitas Brawijaya, Tuhan mengijinkan saya untuk mempelajari hukum selama 5 tahun (iya, 5 tahun, saking cintanya sama kampus dan belum sanggup menghadapi dunia nyata. Hahahahaha).

Di penghujung masa kuliah pun, ada pilihan yang harus saya putuskan. Salah satunya mau jadi apa saya setelah lulus. Hakim dan jaksa bukan pilihan untuk saya, terlalu abu-abu dan nggak punya uang. Saya bisa menjadi pengacara, benar ataupun salah, siapapun klien saya, mereka yang saya bela. Atau menjadi bagian pengelolaan sumber daya manusia. Saya kembali memutuskan, akan lebih baik jika saya menjadi seorang HRD daripada hakim, jaksa maupun pengacara. Toh pilihan tersebut masih membuat saya bekerja dan mengamati manusia.

Pilihan tersebut, baru mendapatkan kesempatan 4 tahun kemudian, setelah berkeliling ke beberapa kota. Tawaran untuk menjadi HRD tersebut diberikan oleh seorang teman lama, untuk bersama dia dan anggota tim yang lain menjadikan perusahaan yang dia miliki menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Saya pun menerimanya. Mimpi, cita-cita dan pilihan saya menjadi kenyataan.

Sepuluh hari yang akan datang, saya akan merayakan ulang tahun saya yang pertama di perusahaan ini. Di luar perkiraan saya, justru orang-orang yang bekerja bersama saya inilah yang mengajari saya begitu banyak hal. Pelajaran demi pelajaran saya dapatkan setiap harinya. Marah, ngomel, sakit hati, migrain sampai sakit lambung jadi makanan setiap hari. Tapi, semua itu terlupakan atau terlewati dengan mulus ketika saya mendapatkan partner kerja yang luar biasa, pimpinan yang bijaksana, bergelas-gelas kopi (almost no beer and ciggy for me in my hometown) dan tentu saja, obat migrain (ha!).

Tulisan ini adalah tulisan pembuka, karena dalam beberapa waktu ke depan, saya akan menuliskan beberapa pelajaran yang saya dapatkan selama saya bekerja dan bergabung bersama dengan tim yang luar biasa ini selama satu tahun terakhir. Tentang manusia, yang di balik semua penampilan mereka, punya cerita yang selalu menarik untuk diceritakan dan dijadikan pelajaran hidup bagi saya.

Karena seseorang pernah mengatakan bahwa hidup terlalu singkat untuk menjalani semua pembelajaran, yang baik maupun yang buruk. Sehingga yang bisa kita lakukan adalah belajar dari orang-orang yang ada di sekitar kita. Bukankah seseorang ada dalam kehidupan kita karena ingin mengajari kita sesuatu?

Cheers,
Amel

P.s : I dedicated this note for all of my ex-bosses (Mr. Andri, Mr. Tritan, Mr. Sherwin), without all of you, I never got this opportunity to reach one of my dreams today. What I've learnt from all of you yesterday, made who I am today. Special thanks for you, Mamak Bos, thank you for giving me this opportunity. I am so much blessed.

A Proper Goodbye

Malang, 24 Agustus 2014

Minggu pagi ini berbeda seperti minggu pagi saya biasanya. Terbangun terlalu pagi untuk ukuran hari Minggu, saya memutuskan untuk menyeduh segelas besar kopi – hitam, bukan cappucinno seperti biasanya. Menghidupkan Rudolph si laptop yang akhir-akhir ini kegunaannya lebih untuk nonton film daripada bekerja. Hehehe.

Ada beberapa ide yang muncul sejak lama di kepala saya, namun seringkali dengan alasan sibuk – alasan penting yang dibuat untuk menutupi alasan sebenarnya, yaitu malas – akhirnya tidak saya tuliskan. Dan karena hari ini saya sedang tidak punya kesibukan sampai dengan siang nanti, kenapa saya tidak menuliskannya sekarang.

Logo wifi yang menyala membuat saya membuka terlebih dahulu akses google chrome saya daripada microsoft word. Kebiasaan buruk. Website pertama yang saya kunjungi, tentu saja facebook. Namun, hanya tertahan selama 5 menit karena semua inbox dan notifikasi yang masuk sudah saya baca semuanya. Mendadak, saya teringat beberapa situs yang sudah lama tidak saya kunjungi, terutama sejak saya pindah dari Jakarta. Salah satunya adalah situs milik mbak Windy (http://windy-ariestanty.tumblr.com/).

Setelah dibuat tertawa terpingkal-pingkal karena tulisannya mengenai Raditya Dika, saya mendadak terdiam membaca tulisannya mengenai Perpisahan Yang Baik. Ingatan saya kembali ke masa tiga tahun silam, ketika saya mengucapkan selamat berpisah kepada #vleermuisman.

Saya sempat bertanya dengan salah seorang sahabat saya, betapa meskipun sudah berusaha melupakan dan mengucapkan selamat tinggal, terkadang melihat beberapa foto yang dia unggah ke sosial medianya (yep, kami masih berteman baik sampai dengan saat ini J) masih membuat jantung saya main trapezze sama hati saya. Aneh ya. Tapi, sahabat saya hanya mengatakan, “kamu mungkin harus bertemu #vleermuisman untuk terakhir kali, bertatap muka secara langsung, hanya untuk mengatakan selamat tinggal.” Saya ingat, saya hanya menunduk terdiam.

Pertemuan perpisahan itu tidak pernah terjadi. Dan saya tidak tahu, apakah akan pernah bisa terjadi.

Karena teman saya benar.

Terkadang mengucapkan selamat berpisah secara langsung – bahkan tanpa perlu mengatakan alasannya sama sekali – diperlukan agar nantinya kita tidak terus menerus menoleh ke belakang tanpa ada pertanyaan:  kenapa?

Sama seperti teman Mbak Windy yang bisa jadi hanya membuang uang entah berapa banyak untuk melakukan perjalanan dari Jepang ke Prancis, mungkin hanya untuk mengatakan: selamat tinggal, kita berpisah di sini.

Karena kalau kita bisa jatuh cinta tanpa alasan, kenapa kita tidak boleh berhenti mencintai tanpa alasan juga?

Cheers,
Amel


P.s : Dear #vleermuisman, Als je dit briefje te lezen, en je wilt om mij te ontmoeten. Je weet hoe je me te vinden.

Wednesday, July 9, 2014

#MemilihUntukMemilih


Malang, 9 Juli 2014

This is the day!
The election day is coming!

Euforia pemilihan umum kali ini sangat luar biasa. Hampir selama satu bulan terakhir semua media sosial yang saya miliki, pembicaraan dengan keluarga di rumah maupun teman-teman atau tontonan di televisi berkutat di pemilihan presiden 2014 ini. Gaung yang luar biasa, karena untuk kali ini, orang-orang muda negeri ini, orang-orang yang saya kenal – di mana pun mereka berada, memutuskan untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk saya.

Hari pemilihan umum, sebenarnya, adalah salah satu hari paling menyebalkan untuk saya, karena suka tidak suka, saya akan beradu pendapat dengan kedua orang tua saya. Mereka yang punya pendapat garis keras bahwa memilih adalah kewajiban saya sebagai warga negara beradu dengan pendapat keras kepala saya yang menyatakan bahwa memilih adalah hak. Oleh karena itu, sekeras apapun usaha orang tua saya untuk meminta saya menggunakan suara saya, selalu saya tolak. Bagi saya, memilih berarti saya bertanggung jawab atas pemimpin pilihan saya. Jika saya memilih dan pemimpin yang saya pilih buruk, saya punya andil meski secuil kecil atas kemenangannya. Namun, jika saya tidak memilih, tanpa beban apapun, saya bisa mengatakan, “ya, namanya juga pemerintah. Brengsek kayak biasa.” Datar, lempeng, karena saya memang tidak ikut ambil bagian apapun untuk menjadikannya pemimpin.

Pemilihan presiden kali ini pun dimulai dengan sikap masa bodoh yang sama. Ya, saya sudah pernah mendengar mengenai sepak terjang Jokowi, yang begitu dipuja oleh warga Solo, yang berani mendongkrak patron yang ada mengenai memilih wakil seperti Ahok dan aksi blusukannya yang melegenda. Prabowo? Sedikit sekali yang saya ketahui mengenai dia dari media, kecuali bahwa dia pernah menjadi calon wakil presiden untuk Megawati di Pemilu 2009 dan dia memiliki latar belakang serius terkait keterlibatannya dalam peristiwa Mei 1998. Sebulan yang lalu, saya tidak peduli sama sekali. Sampai saya mendengar berita mengenai kunjungan Babinsa ke rumah-rumah penduduk yang ada di sebuah perumahan (http://nasional.kompas.com/read/2014/06/05/0957038/Datang.Rumah.ke.Rumah.Anggota.Babinsa.Arahkan.Warga.Pilih.Prabowo)

Saya ingat sekali ada rasa tercengang dan marah ketika saya membaca tulisan yang dimuat di kompas.com tersebut. Seperti kembali ke masa ketika banyak warga negara yang tidak memiliki rasa aman untuk menjalani kehidupannya dari segi apapun, terutama dalam hal kebebasan mengeluarkan pendapat. Negara memiliki kewajiban mutlak untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga negaranya. Bisakah anda semua membayangkan, seorang calon presiden – calon, belum menjadi pemimpin negara – sudah bisa menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman bagi masyarakat? Apa jaminannya dia bisa memberikan rasa aman dan memberikan hak asasi bagi setiap warga negara?

Debat capres-cawapres pada tanggal 8 Juni 2014 adalah titik ketika saya memutuskan untuk menggunakan hak pilih saya hari ini. Topik mengenai pelanggaran HAM adalah topik utama yang membuat saya mengambil keputusan.

Saya tidak mau, di masa yang akan datang, saya dan orang-orang yang ada di sekeliling saya – keluarga maupun teman, apapun posisi, suku, agama dan pandangan politiknya – hidup dalam ketakutan. Ketakutan untuk tidak bisa bebas mengemukakan pendapat, ketakutan untuk tidak bisa berkembang hanya karena dia memiliki suku tertentu, ketakutan untuk tidak bisa menjalankan ibadah agamanya. Saya juga tidak mau, anak-anak saya nantinya lahir dan hidup di dalam negara yang tidak menghargai kebhinekaan yang seharusnya menjadi inti dasar Indonesia yang luar biasa ini. Saya memiliki mimpi, semua orang memiliki kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri dan dihargai oleh orang-orang di sekitarnya dan didukung oleh negara melalui konstitusi yang ada.

Terlihat muluk, tetapi saya percaya, suatu hari nanti hal tersebut akan terwujud.

Dan hal itu dimulai dari sekarang,melalui pemilihan presiden hari ini.

Oleh karena itu, hari ini, saya memilih untuk memilih. Saya memilih untuk memberikan suara saya untuk kehidupan yang lebih baik, bagi saya, keluarga, teman-teman dan anak-cucu saya nantinya.

Untuk Indonesia, yang lebih baik daripada hari ini.

Selamat berpesta demokrasi, saudara-saudariku. Pilihlah sesuai hati nurani anda semua, untuk Indonesia yang lebih baik dan merdeka, tidak hanya untuk hari ini tapi yang terutama untuk generasi penerus kita nantinya.

Selamat memilih!


Cheers,
Amel