Monday, August 14, 2017

Tentang Mereka Yang Mencintai Laut




 
Dengarkan sebuah cerita tentang keempat sahabat.

Mereka yang mengayuh sampan sederhana mereka
Mengikuti arus yang membawa mereka menjauhi pantai
Namun mereka tak pernah khawatir
Karena mereka tahu, laut akan berbaik hati

Mereka yang membiarkan mentari membakar
Setiap jengkal kulit yang terpapar
Namun mereka hanya tertawa
Karena mereka tahu, sang surya hanya memberikan kebaikan

Mereka yang berteriak riang ketika ombak menghempas
Membalikkan sampan sederhana mereka
Namun mereka tidak takut
Karena mereka tahu, ombak hanya bermain dengan mereka

Betapa mereka begitu percaya bahwa alam begitu baik
Membiarkan mereka bermain sesuka hati
Menarik, membakar, menghempas
Bergembira dengan sesama pecinta laut hingga mereka kelelahan

Dan ketika matahari berpamit pulang
Mereka duduk di tepian
Membiarkan angin membasuh ombak dan buih dari tubuh mereka
Namun tetap meninggalkan jejak aroma laut
Untuk mereka yang begitu mencintai lautan



Mataram, 14 Agustus 2017

Saya tertarik dengan keempat anak yang menghabiskan berjam-jam siang itu bermain di lautan dengan sebuah kano yang mereka pinjam. Mereka begitu gembira bermain dengan peralatan sederhana, murni hanya mengandalkan insting anak-anak mereka dan kebaikan laut.

Dan dari mereka saya diingatkan, bahwa kadang menjalani atau melihat sesuatu yang sederhana, dan menikmatinya; dapat mengisi semua rongga kosong yang mungkin ada dalam diri saya.

Cheers,
Amelia




Perjalanan dengan Seribu Cerita



Mataram, 14 Agustus 2017

Menulis di tengah meja yang berantakan, masih ditemani Payung Teduh dan suasana kantor yang perlahan sepi.

Saya baru saja kembali dari toko buku ternama di pusat kota, resminya sih untuk mencari kertas sticker transparan yang diminta oleh bos saya. Tenang saja, saya pergi selewat jam kantor kok. Lantas, kenapa kembali? Karena ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan dan otak saya sudah kelewat penuh untuk meneruskan pekerjaan hari ini.

Berangkat dengan cara nebeng teman yang searah dengan rute perjalanan pulangnya, saya diturunkan di depan toko buku tersebut. Mencari kertas dan menginformasikan kepada atasan saya sebenarnya tidak lebih dari 15 menit, tapi sebagai fakir buku saya tentu saja berputar hingga lewat satu jam di lantai atas. Menemukan beberapa buku dengan alinea yang menohok kehidupan saya akhir-akhir ini, namun itu cerita di lain hari.

Yang menarik adalah, cerita kali ini justru saya temukan di akhir perjalanan ini. Ketika saya akan kembali ke kantor.

Ojek online. Siapa sih yang hari gini belum menggunakan moda transportasi ini. Bukan atas nama kekinian, tetapi lebih dilihat dari segi praktisnya. Apalagi, selama berada di kota ini, saya tidak punya alat transportasi. Sehingga sehari-hari saya mengandalkan jasa ojek online ini. Ada banyak cerita menarik yang saya dapatkan hampir di setiap perjalanan, tak terkecuali kali ini.

Hari ini, pengemudi saya bernama Pak Khairuddin. Ini kali kedua saya diantar oleh beliau. Ketika sudah bertemu, dia langsung menyapa dengan, “Wah, mbaknya.. saya pernah ngantar mbak lo, mungkin mbak sudah nggak ingat.” Dan saya menjawab, “Ingeeettt dong, Pak..” Sebagai catatan, jangan menganggap Mataram sebagai kota besar, kota ini tergolong kecil dan jumlah pengemudi ojek online belum sebanyak di ibukota atau mungkin kota asal saya. Jadi, sapaan dari babang gojek itu hamper biasa.. kadang menjadi terkenal itu memang sederhana dikenali bapak-bapak gojek, hahaha.

Setelah saya naik, saya menanyakan kabar istrinya yang berjualan di pasar. Pak Khairudin menjelaskan bahwa sekarang dia pengemudi gojek full time karena istrinya fokus mengurus anak perempuannya yang baru saja masuk SD. Kemudian saya menanyakan perihal anak-anaknya, dan dia menceritakan tentang putra-putranya yang telah masuk usia remaja dan dewasa. Hingga mengalirlah kekhawatirannya mengenai putra sulungnya yang perlahan meninggalkan bangku kuliah yang sudah di semester akhir, karena lebih sering berkumpul dengan teman-temannya. “Luntang lantung nggak jelas, mbak, udah jarang pulang,” demikian dia mengakhiri ceritanya dengan nada sedikit sedih.

Kemudian saya teringat kedua orang tua saya.

Cerita tersebut bukan lagi sesuatu yang baru buat saya. Bandel saya di jaman kuliah mungkin kurang lebih sama dengan anak Pak Khairuddin. Sampai saya molor skripsi 2 tahun hanya karena malas mengerjakan tugas akhir tersebut. Pikiran saya waktu itu : halah, duit sekolah nggak terlalu mahal ini. What an asshole, right? Saya lupa, bahwa uang sekolah yang tidak seberapa itu dicari dengan susah payah oleh kedua orang tua saya. Sekarang, ketika saya merasakan sendiri bagaimana rasanya mencari uang sendiri, ingin rasanya kembali ke jaman tersebut dan menjewer telinga saya.

Pertemuan saya dengan Pak Khairuddin ini seperti menampar saya.

Betapa banyak orang tua saya sudah berkorban untuk saya, untuk sesuatu yang dulunya saya anggap sepele. Betapa hari ini saya baru menyadari, betapa kedua orang tua saya, dengan cara mereka sendiri, membuat saya menikmati masa muda saya; tanpa saya menyadari betapa itu semua sebenarnya saya lakukan di atas segala keringat dan jerih payah mereka. Betapa seringkali, tanpa saya sadari, saya menyakiti kedua orang tua saya dengan keegoisan saya, mengatasnamakan slogan : hidup hanya sekali, harus dinikmati sebisanya.

Mendengarkan Pak Khairuddin bercerita mengenai putranya, saya hanya bisa mengatakan kepadanya untuk sabar dan mendoakan supaya putranya akan belajar banyak hal tentang kehidupan bersama teman-temannya sehingga menjadi sosok yang tangguh dan sukses ketika dihadapkan oleh kehidupan.

Berkaca kembali, saya sangat beruntung, karena kedua orang tua saya masih lengkap. Dan, saya berharap saya bisa membahagiakan mereka seperti mereka membahagiakan saya tanpa tetapi.

Ini cerita perjalanan saya kali ini. Apa ceritamu?


Cheers,
Amelia 

Friday, August 11, 2017

Energi Positif



Mataram, 11 Agustus 2017

Tulisan pertama setelah hampir satu tahun tidak menulis. Ditulis menjelang tengah malam di pulau bagian tengah Indonesia. Diiringi Payung Teduh.  

Beberapa waktu belakangan saya merasa menjalani hidup seperti robot. Bangun, bekerja, pulang. Tidak ada lagi gairah untuk menjalankan sebuah proyek baru ataupun menulis seperti ini. Hal ini menjadi semakin terasa ketika saya berlibur selama 4 hari, dan hal-hal kecil yang biasanya akan membuat saya tersenyum, kembali bersemangat dan bahagia, tetap tidak bisa mengenyahkan apa yang saya rasakan.

Dan saya panik.

Bagi saya - seseorang yang mengagungkan kekuatan dari mimpi-mimpi dan kemungkinan untuk meraih apa yang saya inginkan, dimana mengumpulkan hal-hal kecil yang menjadi sumber kebahagiaan adalah hal yang mudah; tidak bisa menjadi bahagia adalah kutukan tersendiri. Saya menjadi bagian dari sebagian besar orang yang terperangkap dalam kepalanya sendiri.

Dan saya ketakutan.

Terperangkap dalam kepala kita sendiri. Terkutuk karena segala ketakutan yang tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat tersampaikan berkutat dan bergumul dalam kepala kita, tempat penyimpanan tak terbatas.

Sampai saya secara tidak sengaja bertemu dengan salah satu sosok yang saya kagumi di bandara. Sambil menunggu adik saya yang sedang mendaftarkan dirinya untuk menaiki pesawat pulang. 

Saya bertemu dengan Mbok Ni Luh Djelantik. Sosok luar biasa yang mengilhami begitu banyak orang, baik sebagai perempuan bisnis dan juga pecinta kebhinekaan yang tidak kenal lelah dan takut. Tetapi, saya begitu mengagumi beliau karena dia memanusiakan manusia dalam setiap cerita yang dia bagi di sosial medianya.

Singkat kata, saya meminta Mbok Niluh berfoto bersama. Dengan senyuman yang khas, beliau menyetujui permintaan saya, dengan pose merangkul pundak, foto kami diambil dalam 3 kali jepretan. Setelah itu, sambil mengucapkan terima kasih, beliau menanyakan nama saya dan memperkenalkan suaminya. Gestur sederhana yang memvalidasi bayangan saya tentang sosok Mbok Niluh. Kemudian, mereka pamit untuk pulang ke Bali sambil mengatakan bahwa saya harus selalu menjaga kesehatan.

Pertemuan kami tidak sampai 5 menit.
Akan tetapi begitu membekas dalam ingatan saya meskipun sudah berlalu lebih dari 30 hari yang lalu.

Dan ketika saya menyetir pulang, saya menyadari satu hal.
Saya bahagia.

Sesederhana itu.

Perasaan hangat dan positif berada dalam dada saya dan menyebar.
Perasaan bahwa saya bisa melalui hal apapun yang ada di hadapan saya. Bahwa apapun mimpi yang saya miliki bisa terjadi.

Dalam perjalanan selama 60 menit itu, sambil sesekali berhenti untuk memotret senja di sepanjang jalan tersebut, saya menyadari, bahwa saya begitu terserap pada hal-hal negatif yang ada di sekeliling saya. Betapa kepalsuan dan sikap egois yang ada di sekeliling saya menyerap habis harapan dan pikiran positif yang selama ini begitu mudah saya munculkan. Dan yang paling menyedihkan adalah, saya tidak mengucapkan rasa syukur yang selama ini begitu mudah saya ungkapkan. Saya terlalu tersedot dalam sesuatu yang begitu kelam dan melupakan mengenai hal-hal kecil sumber kebahagiaan yang selama ini menjadi bahan bakar saya untuk menjalani hari dengan mengucap syukur. Sesuatu yang sederhana namun begitu penting dalam menjalani situasi yang sedang saya hadapi.

A boost of positive energy.
Sesuatu yang terlihat sepele namun ternyata bisa membuat saya lebih tegar dalam menjalani keseharian saya.

Dan saya berharap, suatu hari nanti saya bisa menjadi energi positif bagi orang lain.
Dan bagi yang membaca tulisan ini, semoga anda selalu diberkahi energi positif kemanapun anda berada.

Cheers,
Amelia