Friday, September 23, 2011

A Letter To My Parents



Jakarta, 22 September 2011


Tulisan kedua di Jakarta yang draftnya saya buat di bis yang berjalan menuju ke Tangerang. Perjalanan pulang dari interview terakhir di sebuah perusahaan yang menyediakan crew untuk kapal pesiar.

Interview saya kali ini adalah interview kedua yang saya jalani untuk perusahaan ini. Saya bertemu dengan direktur perusahaan ini. Seorang ibu dengan 3 orang anak (2 putri dan 1 orang putra) yang semuanya sedang bersekolah di luar negeri. Beliau berumur 47 tahun dan sangat cantik. Saya menjalani interview yang menyenangkan dengan beliau.

Mengapa saya menceritakan peristiwa tersebut dalam hal ini? Karena interview ini, berbeda dengan interview yang lain, akan membekas dalam ingatan saya untuk jangka waktu yang sangat lama atau bahkan tidak akan pernah terhapus. Sejujurnya ini bukan interview… namun obrolan antara 2 orang perempuan.. saya, baru menjalani hidup sebagai seorang anak, sementara beliau sudah menjalani perannya sebagai seorang anak dan seorang ibu.

Ibu tersebut, saya tidak tahu namanya, menanyakan kepada saya satu pertanyaan luar biasa yang membuat saya melihat kembali apa yang sudah saya pelajari dan pada akhirnya saya terapkan dalam hidup saya. Beliau menanyakan, what’s your parents taught you about life?

Setelah dia menanyakan hal tersebut, saya terdiam dan mata saya mulai berkaca-kaca…

Dengan rasa bangga dan syukur luar biasa, saya menjawab, “My parents taught me to taking chances in life, to chase what I want through honesty and dignity.”

Saat jawaban tersebut keluar dari mulut saya, saya menjadi benar-benar menyadari apa yang dilakukan oleh orang tua saya selama mendidik saya hingga menjadi seseorang seperti saya. Semua hal yang saya anggap tidak masuk akal, membosankan, tidak menyenangkan yang mereka ajarkan selama masa anak-anak, remaja hingga hari ini pada akhirnya membentuk saya seperti yang banyak orang lihat dan kenal hari ini.

Keseluruhan proses itu tidak semuanya menyenangkan, beberapa malah menyakitkan. Tapi, orang tua saya pun bukan manusia sempurna dan mereka pun belajar menjadi orang tua (yang suatu hari nanti akan saya lakukan juga), manusia tak sempurna yang belajar untuk mengajarkan kehidupan pada buah hatinya. Dan pada akhirnya, apalah arti semua ketidak sempurnaan itu ketika apa yang mereka ajarkan melalui semua pengorbanan itu menjadikan saya (dan kedua adik saya) menjadi manusia yang bisa melangkah menghadapi hidup dan semua tantangannya.

Pada titik ini, saya pada akhirnya (setelah semua kebodohan dan kebutaan saya selama ini), melihat apa yang orang tua saya korbankan untuk anak-anaknya. Mereka mengorbankan hidup mereka untuk hidup anak-anak mereka. Dan ketika putra-putrinya siap menjalani hidup, mereka kembali berkorban dengan melepaskan anak-anaknya dengan doa dan berkat.

Saya membuat tulisan ini untuk dua orang paling penting, paling luar biasa dan paling bijaksana dalam hidup saya. Dua orang yang mengorbankan hidup mereka, untuk kami, anak-anaknya. Dua orang yang ajaran, doa, berkat dan kekuatannya akan ada bersama dengan saya selama saya hidup dan akan saya ajarkan dan berikan kepada putra-putri saya suatu hari nanti.

Tulisan ini saya buat dan persembahkan untuk kedua orang tua saya…

Terima kasih untuk semua pengorbanan papa dan mama. Terima kasih untuk semua ajarannya mengenai hidup. Terima kasih untuk semua doa dan berkat yang selalu diberikan, tanpa perlu saya minta. Terima kasih untuk selalu menjadi sumber kekuatan ketika saya rapuh. Terima kasih untuk semua pelukan tanpa pertanyaan dan pengertian tanpa kata yang selalu diberikan.

Terima kasih… untuk begitu banyak hal yang mungkin saya lupakan atau bahkan tak bisa terucapkan.

Terima kasih sudah memberikan dasar hingga saya menjadi manusia utuh hari ini dengan nilai-nilaimu.

Terima kasih.

I always love you, mom, dad….


With love,

Amel

International Symbol For Marriage




Jakarta, 13 September 2011


Tulisan pertama di Jakarta. Dibuat di food court sambil menunggu Oma Sandy yang jauh-jauh dari BSD, naik kereta untuk menemui saya pertama kalinya dan makan siang bareng. (Dan pada akhirnya menemani saya interview di Thamrin sore ini… Sooo happy).

Tulisan pertama saya di Jakarta ini bukan mengenai macet atau panasnya Jakarta. Sudah terlalu banyak tulisan dan keluhan mengenai kedua hal tersebut, saya rasa. Dan lagi, keduanya sudah menjadi hal yang biasa. Tulisan ini justru tentang profile picture bbm salah satu kontak saya. Yang kebetulan laki-laki, berumur sekitar 40 tahun dan baru saja menikah. Gambar itu sudah saya letakkan di bagian atas tulisan ini.

Pertama kali saya melihat gambar ini, saya kesal setengah mati. International symbol for marriage, my ass!!!! There’s no such things like that if you live your marriage life in a right way. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pria menyembah wanita dan menyerahkan kartu kreditnya. Apa nggak salah??

Mungkin gambar tersebut dimaksudkan untuk bercanda. Akan tetapi, karena nilai-nilai yang selama ini diajarkan pada saya mengenai pernikahan berbeda 180 derajat dari apa yang disebut sebagai “international symbol” tersebut, saya menganggap gambar tersebut cenderung menghina kaum perempuan terkait peranan mereka dalam hubungan pernikahan.

Jujur, sampai saat ini saya termasuk salah satu manusia yang mules mendengar kata “pernikahan”. Kenapa? Karena butuh komitmen luar biasa terkait kejujuran, kesetiaan, pembagian peran dalam hidup sehari-hari dan masih banyak lagi. Pihak laki-laki sebagai kepala keluarga memang memiliki tanggung jawab secara financial kepada istri dan anak-anaknya. Sementara pihak perempuan, mengesampingkan sebagian besar keinginan pribadinya untuk suami dan anak-anaknya. Dua-uanya melakukan pengorbanan yang besar, secara financial dan emosional untuk membangun suatu pernikahan yang berjalan dengan baik. Saya melihat hal ini pada semua perkawinan yang bertahan bertahun-tahun dan melewati semua badai. Bukan hanya sekedar laki-laki yang memberikan kartu kreditnya kepada istrinya sambil nangis darah.

Melihat gambar yang dipasang oleh salah satu kontak bbm saya tersebut saya nggak mau bilang teman, karena memang bukan teman saya) adalah gambaran picik, bagaimana seseorang menilai suatu bentuk hubungan pernikahan. Terlepas dari maksudnya sebagai bahan bercanda.

Cheers,
Amel