Tuesday, November 8, 2016

N.G.A.M.B.E.K


Malang 8 November 2016
Sore ini saya mendapatkan pesan singkat dari rekan kerja yang mengatakan bahwa salah satu kolega kami bingung karena pesannya tak kunjung saya balas, dia takut saya ngambek.
Pesan singkat di penghujung hari ini membuat saya terdiam menatap layar telepon seluler saya cukup lama sambil membaca kata demi kata yang ada. Namun, dari kesuluruhan kalimat tersebut, yang membuat saya merasa emosional adalah kata terakhir yang tertulis disana, ngambek.
Entah karena kelelahan karena aktivitas saya beberapa hari terakhir atau sesederhana saya terlalu banyak berpikir dan imajinasi yang sangat aktif, kata tersebut membuat saya – entahlah, perpaduan antara rasa tersinggung dan marah. Sesederhana itu. Saya selalu takjub bagaimana kadang penggunaan satu kata bisa memiliki arti yang berbeda dan memancing emosi yang beragam pula dari seseorang. Semacam penggunaan kata ‘pakai’ yang sedang ramai dibicarakan di sosial media hari-hari terakhir ini Buat saya, sekali lagi, buat saya ya. Saya pun tidak menemukan definisi panjang lebar mengenai kata ngambek di KBBI. Definisi kata ini hanya satu, marah. Purik, nek jare wong jowo. Tapi, saya seringkali mendapati kata ini digunakan dalam kalimat dimana subjek marah kepada pihak kedua karena alasan yang tidak masuk akal. Contoh : Budi (5 tahun) ngambek kepada orang tuanya karena tidak diijinkan membeli mainan yang harganya cukup mahal. Atau, pacarku ngambek karena aku terlambat menjemput dia. Entah mengapa, kebetulan saya selalu mendapati kata ini berada dalam kalimat yang membuat subjek dinilai terlalu kekanakan. Tapi, sekali lagi, ini hanya perasaan saya saja. Atau mungkin karena saya yang terlalu bawa perasaan menanggapi pesan singkat yang dikirimkan kolega saya tersebut melalui rekan kerja saya untuk saya. Nah, riweuh, khan?
Kembali ke pesan singkat yang saya baca di kantor sore ini, sebagai perempuan yang memegang salah satu posisi pembuat keputusan di dunia yang didominasi oleh laki-laki tersebut, entah mengapa kalimat tersebut seolah mendiskreditkan pengolahan informasi yang saya terima dari kolega saya dan beberapa pengalaman ingkar janji tidak profesional yang dilakukan selama ini. Seolah, saya, sebagai perempuan menanggapi suatu hal yang tidak profesional dengan berlebihan. Terlalu dibawa perasaan. Karena saya, sebagai kaum perempuan lebih menggunakan hati saya dalam mencerna informasi dibandingkan menggunakan logika. Mungkin, itu pula penyebabnya, mengapa kolega kami menghubungi rekan kerja saya yang notabene lelaki untuk bisa menjelaskan kepada saya, cara mencerna informasi menggunakan logika, tanpa terlalu baper. Menyetir pulang sore ini, sambil menerobos hujan yang mengguyur, saya tertawa. Saya menertawakan beberapa orang yang memandang rendah kemampuan berpikir perempuan. Saya menertawakan bagaimana segelintir orang memandang sebuah janji hanya seutas kalimat tidak bermakna. Dan saya menertawakan diri saya yang bahkan bisa salah menilai perasaan saya sendiri dalam menanggapi sebuah kata yang disisipkan dalam sebuah kalimat bermakna ganda.
Karena ternyata saya tidak merasa tersinggung. Saya marah. Sangat.