Monday, June 4, 2012

Bekerja Dengan Hati








Jakarta, 24 Mei 2012

Catatan tengah malam di Jakarta yang rasa-rasanya akan memulai musim kemaraunya. Panas, gerah dan kelaparan. Sayangnya, saya tidak terlalu suka menyimpan makanan di kamar kost saya. Terlalu beresiko untuk dijadikan sumber makanan para semut.

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan seorang teman lama di sebuah rumah makan milik pencicip masakan ternama. Kami memilih kedai tersebut karena sepintas memiliki nuansa rumah, homey. Berjam-jam kami habiskan untuk mengenang masa-masa bodoh ketika kuliah sampai cerita mengenai apa saja yang kami berdua kerjakan di ibukota yang terkenal kejam ini.

Salah satu cerita yang dia berikan kepada saya adalah pekerjaannya, bagaimana dia sakit hati dengan kebijakan manajemen tingkat atasnya. Teman saya bekerja di suatu perusahaan jasa pencari tenaga kerja dan saat ini dia diminta untuk mengumpulkan kembali orang-orang yang pernah bekerja dengan mereka dan meminta mereka untuk kembali bergabung dengan perusahaannya.
 

Berbicara langsung dengan pahlawan devisa negara tersebut membuat dia harus mendengarkan cerita mereka selama bekerja di negara orang. Sebagian besar di antaranya adalah pengalaman mereka selama bekerja dan kekecewaan yang mereka alami. Teman saya pun mendengarkan, mencatat dan memberikan laporannya kepada manajemen perusahaan.
 

Jawaban yang dia terima secara langsung, cukup menyayat hati. Pimpinan proyek tersebut mengatakan, ketika bekerja ia diharapkan untuk tidak menggunakan hati dan memasukkannya ke dalam pikiran. Sebagai manusia yang perasaannya masih normal, dia diminta untuk menerima hasil perbincangannya dengan datar sebagai suatu statistik, data untuk kelengkapan laporan.
 

Saya ikut kaget mendengar hal ini dan mengingat, ketika saya bekerja di perusahaan sebelum ini. Salah satu hal yang ditekankan oleh atasan saya adalah supaya saya bekerja dengan hati. Karena ketika bekerja dengan hati, seluruh aspek yang saya butuhkan untuk kelancaran perusahaan saya, akan saya dapatkan. Saya akan menjadi manusia yang menyelesaikan pekerjaan saya karena tanggung jawab dan menyelesaikannya dengan sungguh-sungguh. Saya akan menghargai orang-orang yang berhubungan dengan saya, apapun posisinya, karena mereka adalah manusia yang butuh dihargai.
 

Satu kalimat: bekerja dengan hati. Membutuhkan komitmen teguh karena saya harus melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan saya dengan sungguh-sungguh sampai selesai dengan menghargai semua hal yang berkaitan dengan saya.
 

Menurut saya, hal ini merupakan poin penting yang bisa diterapkan tidak hanya dalam pekerjaan, tapi semua bagian dalam hidup saya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan terbaik.
Satu catatan kecil, di perusahaan sebelumnya, saya lebih banyak bekerja dengan data administratif dan mesin. 

Klien perusahaan teman saya, seratus persen manusia. Dengan pikiran, hati dan perasaan.

Cukup mencengangkan untuk saya, ketika salah satu pemegang kursi pimpinan meminta pegawainya yang langsung berhadapan dengan sumber keuntungannya, untuk bekerja tanpa hati. Padahal yang dia hadapi adalah manusia, yang bisa tersakiti begitu dalam bahkan dengan satu kalimat pendek.

Jujur saja, peristiwa yang dialami teman saya membuat saya kaget dan berpikir kembali mengenai esensi saya sebagai seorang manusia. Apakah hanya sebegitu saja nilai seseorang? Sebagai pemberi laba bagi perusahaan tanpa perlu dipertimbangkan perasaannya? Teman saya yang menangani proyek ini merasa buruk karena sudah berbohong kepada mereka yang percaya kepadanya untuk memberikan jalan keluar dengan membicarakan uneg-uneg mereka kepada yang lebih berwenang. Dan ia gagal :(.

Malam ini, entah mengapa saya memikirkan mengenai percakapan kami di kedai remang-remang sambil menyantap sepiring kentang goreng tersebut. Menurut saya, apapun keputusan pihak manajemen, teman saya harus tetap bekerja dengan menggunakan hati. Karena tanpa hati, tidak akan ada pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Dengan hati, seseorang bisa bersimpati atau bahkan berempati kepada mereka yang memang membutuhkannya. Tapi, sebaiknya jangan menggunakan hati kepada mereka yang juga tanpa hati.
 

Agak menyedihkan memang, ketika sesuatu yang seharusnya digunakan untuk merasa terhadap apapun malah diberi tombol on-off seperti lampu. Tapi, tidak berlebihan kalau saya mengatakan, "kita harus berhati-hati terhadap hati kita" khan?
 


Cheers,
Amel

P.S : Ucapan sayang dan terima kasih luar biasa untuk Oma Sandy dan Egie, yang sudah mau membaca draft awal tulisan ini... I woof you, guys.. :*