Monday, August 14, 2017

Perjalanan dengan Seribu Cerita



Mataram, 14 Agustus 2017

Menulis di tengah meja yang berantakan, masih ditemani Payung Teduh dan suasana kantor yang perlahan sepi.

Saya baru saja kembali dari toko buku ternama di pusat kota, resminya sih untuk mencari kertas sticker transparan yang diminta oleh bos saya. Tenang saja, saya pergi selewat jam kantor kok. Lantas, kenapa kembali? Karena ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan dan otak saya sudah kelewat penuh untuk meneruskan pekerjaan hari ini.

Berangkat dengan cara nebeng teman yang searah dengan rute perjalanan pulangnya, saya diturunkan di depan toko buku tersebut. Mencari kertas dan menginformasikan kepada atasan saya sebenarnya tidak lebih dari 15 menit, tapi sebagai fakir buku saya tentu saja berputar hingga lewat satu jam di lantai atas. Menemukan beberapa buku dengan alinea yang menohok kehidupan saya akhir-akhir ini, namun itu cerita di lain hari.

Yang menarik adalah, cerita kali ini justru saya temukan di akhir perjalanan ini. Ketika saya akan kembali ke kantor.

Ojek online. Siapa sih yang hari gini belum menggunakan moda transportasi ini. Bukan atas nama kekinian, tetapi lebih dilihat dari segi praktisnya. Apalagi, selama berada di kota ini, saya tidak punya alat transportasi. Sehingga sehari-hari saya mengandalkan jasa ojek online ini. Ada banyak cerita menarik yang saya dapatkan hampir di setiap perjalanan, tak terkecuali kali ini.

Hari ini, pengemudi saya bernama Pak Khairuddin. Ini kali kedua saya diantar oleh beliau. Ketika sudah bertemu, dia langsung menyapa dengan, “Wah, mbaknya.. saya pernah ngantar mbak lo, mungkin mbak sudah nggak ingat.” Dan saya menjawab, “Ingeeettt dong, Pak..” Sebagai catatan, jangan menganggap Mataram sebagai kota besar, kota ini tergolong kecil dan jumlah pengemudi ojek online belum sebanyak di ibukota atau mungkin kota asal saya. Jadi, sapaan dari babang gojek itu hamper biasa.. kadang menjadi terkenal itu memang sederhana dikenali bapak-bapak gojek, hahaha.

Setelah saya naik, saya menanyakan kabar istrinya yang berjualan di pasar. Pak Khairudin menjelaskan bahwa sekarang dia pengemudi gojek full time karena istrinya fokus mengurus anak perempuannya yang baru saja masuk SD. Kemudian saya menanyakan perihal anak-anaknya, dan dia menceritakan tentang putra-putranya yang telah masuk usia remaja dan dewasa. Hingga mengalirlah kekhawatirannya mengenai putra sulungnya yang perlahan meninggalkan bangku kuliah yang sudah di semester akhir, karena lebih sering berkumpul dengan teman-temannya. “Luntang lantung nggak jelas, mbak, udah jarang pulang,” demikian dia mengakhiri ceritanya dengan nada sedikit sedih.

Kemudian saya teringat kedua orang tua saya.

Cerita tersebut bukan lagi sesuatu yang baru buat saya. Bandel saya di jaman kuliah mungkin kurang lebih sama dengan anak Pak Khairuddin. Sampai saya molor skripsi 2 tahun hanya karena malas mengerjakan tugas akhir tersebut. Pikiran saya waktu itu : halah, duit sekolah nggak terlalu mahal ini. What an asshole, right? Saya lupa, bahwa uang sekolah yang tidak seberapa itu dicari dengan susah payah oleh kedua orang tua saya. Sekarang, ketika saya merasakan sendiri bagaimana rasanya mencari uang sendiri, ingin rasanya kembali ke jaman tersebut dan menjewer telinga saya.

Pertemuan saya dengan Pak Khairuddin ini seperti menampar saya.

Betapa banyak orang tua saya sudah berkorban untuk saya, untuk sesuatu yang dulunya saya anggap sepele. Betapa hari ini saya baru menyadari, betapa kedua orang tua saya, dengan cara mereka sendiri, membuat saya menikmati masa muda saya; tanpa saya menyadari betapa itu semua sebenarnya saya lakukan di atas segala keringat dan jerih payah mereka. Betapa seringkali, tanpa saya sadari, saya menyakiti kedua orang tua saya dengan keegoisan saya, mengatasnamakan slogan : hidup hanya sekali, harus dinikmati sebisanya.

Mendengarkan Pak Khairuddin bercerita mengenai putranya, saya hanya bisa mengatakan kepadanya untuk sabar dan mendoakan supaya putranya akan belajar banyak hal tentang kehidupan bersama teman-temannya sehingga menjadi sosok yang tangguh dan sukses ketika dihadapkan oleh kehidupan.

Berkaca kembali, saya sangat beruntung, karena kedua orang tua saya masih lengkap. Dan, saya berharap saya bisa membahagiakan mereka seperti mereka membahagiakan saya tanpa tetapi.

Ini cerita perjalanan saya kali ini. Apa ceritamu?


Cheers,
Amelia 

No comments:

Post a Comment