Malang, 24 Agustus 2014
Minggu pagi ini berbeda seperti minggu pagi saya
biasanya. Terbangun terlalu pagi untuk ukuran hari Minggu, saya memutuskan
untuk menyeduh segelas besar kopi – hitam, bukan cappucinno seperti biasanya.
Menghidupkan Rudolph si laptop yang akhir-akhir ini kegunaannya lebih untuk nonton
film daripada bekerja. Hehehe.
Ada beberapa ide yang muncul sejak lama di kepala
saya, namun seringkali dengan alasan sibuk – alasan penting yang dibuat untuk
menutupi alasan sebenarnya, yaitu malas – akhirnya tidak saya tuliskan. Dan
karena hari ini saya sedang tidak punya kesibukan sampai dengan siang nanti,
kenapa saya tidak menuliskannya sekarang.
Logo wifi yang menyala membuat saya membuka
terlebih dahulu akses google chrome saya daripada microsoft word. Kebiasaan
buruk. Website pertama yang saya kunjungi, tentu saja facebook. Namun, hanya
tertahan selama 5 menit karena semua inbox dan notifikasi yang masuk sudah saya
baca semuanya. Mendadak, saya teringat beberapa situs yang sudah lama tidak
saya kunjungi, terutama sejak saya pindah dari Jakarta. Salah satunya adalah
situs milik mbak Windy (http://windy-ariestanty.tumblr.com/).
Setelah dibuat tertawa terpingkal-pingkal karena
tulisannya mengenai Raditya Dika, saya mendadak terdiam membaca tulisannya mengenai
Perpisahan Yang Baik. Ingatan saya kembali ke masa tiga tahun silam, ketika
saya mengucapkan selamat berpisah kepada #vleermuisman.
Saya sempat bertanya dengan salah seorang sahabat
saya, betapa meskipun sudah berusaha melupakan dan mengucapkan selamat tinggal,
terkadang melihat beberapa foto yang dia unggah ke sosial medianya (yep, kami
masih berteman baik sampai dengan saat ini J)
masih membuat jantung saya main trapezze sama hati saya. Aneh ya. Tapi, sahabat
saya hanya mengatakan, “kamu mungkin harus bertemu #vleermuisman untuk terakhir
kali, bertatap muka secara langsung, hanya untuk mengatakan selamat tinggal.”
Saya ingat, saya hanya menunduk terdiam.
Pertemuan perpisahan itu tidak pernah terjadi. Dan
saya tidak tahu, apakah akan pernah bisa terjadi.
Karena teman saya benar.
Terkadang mengucapkan selamat berpisah secara
langsung – bahkan tanpa perlu mengatakan alasannya sama sekali – diperlukan
agar nantinya kita tidak terus menerus menoleh ke belakang tanpa ada
pertanyaan: kenapa?
Sama seperti teman Mbak Windy yang bisa jadi hanya
membuang uang entah berapa banyak untuk melakukan perjalanan dari Jepang ke
Prancis, mungkin hanya untuk mengatakan: selamat tinggal, kita berpisah di
sini.
Karena kalau kita bisa jatuh cinta tanpa alasan,
kenapa kita tidak boleh berhenti mencintai tanpa alasan juga?
Cheers,
Amel
Amel
P.s : Dear #vleermuisman, Als je dit briefje te
lezen, en je wilt om mij te ontmoeten. Je weet hoe je me te vinden.
No comments:
Post a Comment