Thursday, December 8, 2011

Suatu Pagi Di Stasiun Sudirman




Jakarta, 8 Desember 2011


Catatan lama yang baru dibuat versi lengkapnya setelah sekian lama virus malas melanda. Potongan tulisan untuk note ini sebenarnya sudah saya buat di mokroblog saya, twitter, tapi karena rasa malas yang lebih kuat untuk melanda, maka catatan lengkapnya baru dibuat sekarang. Tulisan mengenai suatu pagi yang mendung di Stasiun Sudirman.

Pagi itu, tidak seperti pagi-pagi yang lain, saya bangun subuh (menurut saya, waktu sebelum jam 7 pagi adalah subuh :D). Salah satu teman saya menginap di kost dan selayaknya overnight antara para wanita, malam itu kami berdua tidak tertidur, tapi cekikikan sampai jam 2 pagi dan pada akhirnya tertidur di lantai kayu yang ada di kamar. Pagi itu, kami berdua bergegas ke Stasiun Sudirman yang jaraknya sekitar 10 menit berjalan kaki dari kost. Sama-sama mengantuk, tapi entah mengapa kami berdua masih sempat untuk tertawa-tawa. Masih ada jeda waktu yang cukup sebelum pukul 07.26, jadwal kereta ke Parung Panjang datang, jadi saya masih sempat mengobrol sebelum Sandy dibawa oleh kereta pagi itu ke stasiun tujuannya.

Kereta pergi, membawa Sandy di dalamnya dan kami berdua saling melambaikan tangan sambil tersenyum. Dan saya? Saya memilih untuk kembali duduk di bangku besi yang ada di peron 2 tersebut. Membunuh waktu yang cukup panjang sebelum saya harus masuk kantor pagi itu. Saya memiliki sisa waktu satu jam untuk dibuang percuma (sebenarnya bukan dibuang percuma, Paulo Coelho mengatakan bahwa waktu yang kita gunakan dan kita nikmati sebenarnya tidak terbuang dengan percuma :D). Dengan pilihan melihat ruangan kantor yang akan saya lihat sepanjang hari, saya lebih memilih untuk mengamati manusia-manusia yang ada di stasiun pagi itu.

Meskipun stasiun di Indonesia bukan tipikal stasiun romantis yang ada di film-film hitam putih, tapi stasiun merupakan salah satu spot favorit saya untuk mengamati manusia-manusianya yang lalu lalang. Saya melihat sepasang manusia yang sedang saling menempelkan lutut dan saling memandang dengan mata berbinar, beberapa manusia yang tertidur di bangku mereka sambil menunggu kereta, dan hei.. cukup banyak manusia yang tenggelam dalam smartphonenya dengan headset terpasang erat di telinga acuh pada keadaan sekitarnya dan saya tersenyum (I used to be one of them actually).

Karena Stasiun Sudirman berada di pusat kota, tak heran setiap kereta yang datang selalu dipenuhi manusia-manusia yang berjubel. Setelah kereta datang, masing-masing peron mendadak dipenuhi manusia dengan berbagai warna, bau dan penampilan. Semuanya bergegas ke pintu keluar. Mengejar waktu. Beberapa di antara mereka menatap saya dengan sinis (atau mungkin iri) karena melihat saya yang duduk dengan santai, tak perlu bergegas seperti mereka mengetik di blackberry saya dan mengamati mereka dengan cengiran usil. Beberapa menatap saya dengan pandangan heran. Dan saya mengamati mereka, mengomentari pakaian mereka (entah karena batik yang mereka gunakan bagus, atau model pakaiannya yang lucu, sepatu sandal mereka yang funky atau bahkan robekan di beberapa tempat yang saya lihat ada di baju atau celana atau rok yang mereka kenakan. Saya mengomentari mereka dalam diam, hanya jari saya yang mengetik lincah di tuts qwerty saya.

Sedang asyik-asyiknya mengamati manusia-manusia yang selalu terburu-buru itu, tiba-tiba di sebelah saya duduk seorang ibu dengan wajah pucat. Ibu itu menoleh kepada saya dan berkata, “rasanya mau pingsan.” MATI BENERAN!!!! Usaha paling kepikir sama saya, ngajak ngobrol itu ibu-ibu supaya pikiran untuk pingsannya hilang (yeah, right, bek!!!). Saya mulai menanyakan kenapa dia mau pingsan. Ibu-ibu yang berasal dari Bekasi tersebut mengatakan bahwa dia yang biasanya naik kereta eksekutif, karena takut terlambat akhirnya naik kereta ekonomi (yang pada akhirnya mengakibatkan dia lebih terlambat ke kantor), dengan suasana manusia di kereta ekonomi yang lebih ganas, si ibu jadi shock dan mau pingsan karena kehabisan oksigen selama perjalanan bekasi-jakarta yang harus dia jalani dengan berdiri. Dari cerita mengenai kereta itu, kami menertawakan mengenai escalator yang mati dan membuat banyak orang terpaksa latihan kardio pagi hari dengan naik tangga. Cerita berikutnya mengenai putra-putrinya, groupies lagu Sheila on 7 yang diketuai oleh anaknya dan potongan lagu Sheila on 7 yang dia nyanyikan bersamaan dengan lagu yang diputar di speaker stasiun. Dan saya tertawa. Kami berdua tertawa. Si ibu (Tengkyuh so much, my dear God) melupakan keinginannya untuk pingsan dan kami berdua tertawa.

Kami berdua, dua orang asing yang bahkan tidak saling mengenal. Hanya bertemu di kejapan sang waktu, tanpa pernah tahu, apakah kami akan bertemu lagi. Berbagi tawa, berbagi cerita, belajar untuk mendengarkan. Dan kami berpisah dengan ciuman di pipi dan janji untuk main ke rumah si ibu di Bekasi. Dan pagi itu saya melambaikan tangan dan mengucap pesan untuk berhati-hati pada sahabat saya dan seorang asing yang mendadak tak asing.

Setiap kata, setiap kedipan mata, setiap pilihan yang kita buat dan kita jalani dalam hidup kita seringkali memiliki sudut-sudut tersembunyi untuk memberikan kejutan kepada kita. Saya memilih untuk tertawa lepas, ikut terkejut, sedikit menangis dan kemudian menari dengan setiap kejutan yang datang, mengambil pelajaran berharga untuk disimpan di hati sebagai bekal hidup dan berlalu untuk menyambut kejutan baru. Dan memang untuk itu kita hidup khan… Menikmati hidup dan mengambil setiap pelajaran berharga di dalamnya.


Cinta dan Cium
Yang Saya Kembalikan Lagi Pada Semesta
Untuk Diberikan Kepada Semua Yang Membaca Catatan Kecil Ini…


Amel



P.s : Catatan ini untuk salah satu manusia penikmat hidup dan manusia yang saya tahu paling mudah berbincang dengan orang asing. Salah satu orang yang menyambut saya dengan pelukan erat dan hangat di belantara Jakarta. Catatan ini kado natal yang saya percepat dan didedikasikan untuk kamu… My beloved Oma Sandy…. A lot of kisses and huggies.

No comments:

Post a Comment