I try to clear my mind and have a better communication with myself, so I'm not forgetting who I am. Creating my own memories in the black and white form. All of the post are purely coming directly from the chaos of my mind to the tip of my finger.
Wednesday, December 10, 2014
Friday, December 5, 2014
Kamu Tahu Kenapa Aku Mencintaimu?
Kamu tahu kenapa aku mencintaimu?
Dia menelengkan kepalanya dengan pandangan bertanya padaku.
Aku menunduk, mengetikkan barisan kata melalui tuts hitam di hadapan
Aku mencintaimu, karena kamu orang pertama yang tidak menyerah dengan kekeras kepalaanku
Aku mencintaimu, karena kamu yang selalu memelukku ketika aku marah dalam diam
Mengetahui, di balik semua kemarahanku ada sedih yang tak sanggup kutahan sendiri
Aku mencintaimu, karena pesanmu yang menanyakan berapa gelas kopi yang kutenggak hari ini
Ketika kamu jauh di belahan bumi yang lain
Aku mencintaimu, karena senyumanmu yang tak pernah lepas melihat wajah jelek bangun tidurku di pagi buta seperti ini
Aku mencintaimu, karena rambut acakmu akibat terpaan angin musim dingin, katamu hasil terburu-buru pulang untuk berbicara denganku
Aku mencintaimu, karena berjuta hal kecil yang bisa kuceritakan padamu tapi tidak pernah kamu anggap remeh
Dan hari-harimu yang selalu kuceritakan padaku
Aku mencintaimu, karena seluruh kata yang tepat untuk mendeskripsikan cinta ada dalam kalimat itu
Ketika aku mendongak, kamu hanya menatapku sambil tersenyum
Katamu, "Kamu tahu, bukanlah suatu hal yang sulit untuk mencintaimu."
Dan aku, jatuh cinta lagi, kepadamu
----------
Malang, 5 Desember 2014
03.57 AM
Di tengah kejaran deadline
Di tengah internet yang tersengal
Di tengah kerinduan yang menumpuk
Dia menelengkan kepalanya dengan pandangan bertanya padaku.
Aku menunduk, mengetikkan barisan kata melalui tuts hitam di hadapan
Aku mencintaimu, karena kamu orang pertama yang tidak menyerah dengan kekeras kepalaanku
Aku mencintaimu, karena kamu yang selalu memelukku ketika aku marah dalam diam
Mengetahui, di balik semua kemarahanku ada sedih yang tak sanggup kutahan sendiri
Aku mencintaimu, karena pesanmu yang menanyakan berapa gelas kopi yang kutenggak hari ini
Ketika kamu jauh di belahan bumi yang lain
Aku mencintaimu, karena senyumanmu yang tak pernah lepas melihat wajah jelek bangun tidurku di pagi buta seperti ini
Aku mencintaimu, karena rambut acakmu akibat terpaan angin musim dingin, katamu hasil terburu-buru pulang untuk berbicara denganku
Aku mencintaimu, karena berjuta hal kecil yang bisa kuceritakan padamu tapi tidak pernah kamu anggap remeh
Dan hari-harimu yang selalu kuceritakan padaku
Aku mencintaimu, karena seluruh kata yang tepat untuk mendeskripsikan cinta ada dalam kalimat itu
Ketika aku mendongak, kamu hanya menatapku sambil tersenyum
Katamu, "Kamu tahu, bukanlah suatu hal yang sulit untuk mencintaimu."
Dan aku, jatuh cinta lagi, kepadamu
----------
Malang, 5 Desember 2014
03.57 AM
Di tengah kejaran deadline
Di tengah internet yang tersengal
Di tengah kerinduan yang menumpuk
Monday, November 10, 2014
Percakapan Tanpa Kata
Kamu, aku dan secangkir kopi panas di hadapan
Bahu yang saling menempel
Tangan yang saling menggenggam
Sesekali terlepas hanya untuk menyesap
Tangan yang saling menggenggam
Sesekali terlepas hanya untuk menyesap
Sembari memandangi hujan rintik di luar
Yang membuat banyak orang bergegas
Dan aroma manis muffin yang menggantung di sekeliling kita
Yang membuat banyak orang bergegas
Dan aroma manis muffin yang menggantung di sekeliling kita
Percakapan tanpa kata
Mengalir deras seperti hujan di luar sana
Mengalir deras seperti hujan di luar sana
Tentang kamu
Tentang aku
Tentang jarak yang membentang
Dan waktu yang melambat
Tentang aku
Tentang jarak yang membentang
Dan waktu yang melambat
Tentang kita
Yang tak akan lekang oleh waktu
Yang tak akan lekang oleh waktu
......
Malang, 10 November 2014
Because you, complete me
Thank you
Thank you
Sunday, October 19, 2014
Walk In Other People's Shoes
Malang, 12 Oktober 2014
Draft tulisan ini sudah ada di kepala saya sejak
beberapa minggu yang lalu. Namun, karena satu dan lain hal, saya baru bisa
menuliskannya hari ini. Ruangan tempat saya menulis kali ini hiruk pikuk dan
dipenuhi bau pizza dan kopi dengan obrolan milik pengunjung yang datang dan
siaran pertandingan bola yang dipasang pada volume rendah.
Beberapa waktu yang lalu, ketika saya memanggil
salah seorang staff karena absensinya, penjelasan saya dipotong di
tengah-tengah dengan kalimat, “oke, lebih baik tidak perlu dijelaskan panjang
lebar karena saya memiliki pekerjaan yang jauh lebih penting dibandingkan
masalah absensi yang sepele seperti ini.”
Saya tertegun dengan jawaban tersebut, kemudian
tersenyum.
Di awal saya memasuki dunia perhotelan, saya
cenderung menjadi manusia apatis yang cuek bebek. Buat saya, saya memiliki
deskripsi pekerjaan tersendiri yang harus saya kerjakan, seperti juga semua
rekan kerja yang lain. I do my own business and you do your own. If we got
complaint from the guest, well, too bad, but it’s definetely not my business.
Bad attitude, eh? Banget!
Semua itu berubah dengan kedatangan #PapiBos saya.
Berbeda dengan pimpinan sebelumnya, di bawah kepemimpinan #PapiBos ini kami belajar untuk berpikir dan bekerja sebagai sebuah tim. Kalimat favorit dari beliau adalah, “if one department is suffer, then all of us suffering.” Buat saya, beliau seperti alarm rusak yang tidak pernah bosan mengingatkan kami mengenai pentingnya kerjasama antar tim. Tidak peduli anda bagian dari operasional tim atau back office tim. Kami diajarkan bahwa kami adalah sebuah kesatuan, tim. Titik.
Salah satu bentuk aplikasi kerjasama tim ini adalah
ketika ada acara besar yang dilaksanakan di hotel atau pada saat hotel penuh
dengan situasi back to back (tamu lama check out pukul 12 siang dan tamu baru
masuk pukul 3 sore). Acara besar ini biasanya ada sekitar 200 orang tamu yang
akan mengadakan acara di luar ruangan atau di convention kami. Pada saat-saat
seperti itulah, kami semua – tidak peduli apapun posisi dan departemen anda –
diharapkan untuk membantu.
Hasilnya? Sebagai personalia, saat ini saya cukup
tahu bagaimana cara memoles peralatan makan, menata meja, melipat serbet dengan
beberapa gaya, menuangkan air minum, dan membersihkan meja. Stripping linen dan
making bed? No prob, I can help. Bikin ronde? I can...
Membantu rekan-rekan yang berasal dari departemen
berbeda ini membuat saya memahami tuntutan kerja yang harus mereka hadapi
setiap harinya. Menjadi waiter mungkin terlihat mudah, pada kenyataannya, saya
membutuhkan 2 bungkus koyo hangat untuk saya tempelkan di sekujur tubuh yang
pegal-pegal karena otot tertarik. Jadi roomboy yang cuma bersih-bersih itu
ternyata beda jauh dengan kenyataannya. Ada berlapis linen dengan nama-nama
eksotis yang beratnya... minta maaph banget, berat beud. Kalau anda ingin kurus
tanpa perlu ikut keanggotaan gym, silakan melamar ke housekeeping department.
Otot terbentuk, bobot tubuh berkurang, bentuk tubuh jadi seksi berotot.
Hari ketika saya mencoba berjalan menggunakan
sepatu rekan-rekan kerja saya di bagian operasional adalah hari dimana saya
belajar bahwa sebagai bagian dari sebuah tim, kami tidak terpisahkan satu
dengan lainnya. Kegagalan maupun kesuksesan dari sebuah departemen adalah
kegagalan dan kesuksesan bagi semua. Karena dalam sebuah tim, tidak ada bagian
yang terlalu kecil maupun terlalu besar, tidak ada bagian yang lebih penting
dibandingkan bagian lainnya. Semua bagian, kecil maupun besar, semuanya penting
dan terhubung satu sama lain. Tidak peduli seragam seperti apa yang anda
kenakan.
Itulah mengapa, saya hanya tersenyum mendengarkan
jawaban merendahkan yang dilontarkan staff tersebut.
Bisa jadi, karena saya merasa kasihan dengan dia
yang tidak mengetahui esensi menjadi bagian dari sebuah tim.
Well, bekerja sebagai seorang personalia berarti
harus mempersiapkan mental (plus kopi dan obat migrain untuk kram otak) bertemu
dengan mereka yang unik karena melontarkan pertanyaan maupun pernyataan yang
membuat saya selalu belajar hal baru, berpikir kembali sampai menggelengkan
kepala. Apapun itu, saya bersyukur karena selalu mempelajari hal baru dan
mereka memberikan inspirasi untuk tulisan-tulisan seperti ini.
Cheers,
Amel
Amel
Friday, August 29, 2014
Tentang Mereka Yang Tidak Pernah Menyerah
Malang, 29 Agustus 2014
Pagi itu, adalah hari yang diawali seperti biasa bagi saya. Mengobrol santai dengan teman kantor paling favorit sembari menunggu komputer menyala. Mendadak, pintu ruangan kami diketuk dan salah satu supervisor serta staff memasuki ruangan.
Mereka menjelaskan bahwa mereka ingin meminta ijin untuk memajukan jam kerja staff tersebut untuk beberapa hari, karena dia akan mengikuti ujian Paket C selama empat hari. Saya terpana. Hanya bisa terdiam ketika staff tersebut mengulurkan surat dari Dinas Pendidikan berisi permohonan ijin dan jadwal ujiannya.
Staff kami tersebut lelaki pendiam berusia 40 tahun yang bertugas untuk merawat kebun sehingga selalu terlihat berwarna-warni apapun musimnya, masih bersemangat untuk mengikuti ujian kelulusan kesetaraan SMA. Ujiannya akan berlangsung mulai pukul 2 siang, oleh karena itu, dia meminta ijin untuk masuk kerja mulai pukul 5 pagi sehingga bisa mengikuti ujian tersebut. Saya sempat bertanya kepadanya, “Pak, masuk kerja jam 5 pagi, pulang nanti khan jam 1 ya, jam 2 udah ujian. Apa nggak capek? Nanti nggak konsen lo.” Dan dia menjawab, “ya nggak apa-apa, bu, namanya juga kerja sama sekolah ya gini ini. Pasti bisa. Sudah biasa kok.”
Apakah kami menyetujui permintaannya? Tentu saja.
Setelah mereka meninggalkan ruangan kami, saya memulai seluruh rutinitas sebelum rapat harian dimulai. Tetapi, otak saya tidak mau berhenti berputar. Saya tertohok dengan percakapan singkat kami pagi itu. Bagaimana bisa, seseorang yang jauh lebih tua daripada saya, berkeluarga dan bekerja secara fisik masih mau untuk melanjutkan pendidikannya. Bagaimana bisa, seseorang yang terlihat sudah memiliki pekerjaan baik masih mau bersemangat untuk mendapatkan ijazah SMA yang bisa jadi tidak akan perlu dia gunakan.
Dan mengapa saya, yang masih muda dan mampu, tidak bisa memiliki secuil semangat yang dia tunjukkan barusan.
Peristiwa pagi itu membuat saya membuka kembali kaleng doa saya malam itu. Semua permohonan, doa dan mimpi yang saya minta namun menguap sia-sia ketika saya kehilangan semangat untuk mengejarnya dan menjalani hidup seperti biasa-biasa saja.
Hari itu, saya terduduk di depan buku catatan yang sudah terbengkalai untuk entah berapa lama. Mencatat dan merajut kembali semua mimpi yang sempat saya lupakan. Karena pagi itu, saya mendapatkan peringatan, bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil untuk dikejar selama kita memang benar-benar menginginkannya.
Jadi, apa mimpimu? Karena mungkin mereka bukan tak teraih, mereka hanya menunggu semangatmu untuk menjadikan mereka nyata.
Cheers,
Amel
P.s : Dear Pak San, tulisan ini buat bapak. Terima kasih karena sudah memberi saya contoh luar biasa pagi itu.
Pulang
Malang, 29 Agustus 2014
Pagi ini, saya masih terbangun dengan kebas.
Perasaan bosan dan tersesat yang menggelayut beberapa hari terakhir ini masih
membungkus saya melewati jam demi jam. Dan saya masih tidak tahu bagaimana
harus menghilangkannya.
Salah satu rutinitas pagi saya adalah scrooling
sosial media, saya punya beberapa akun yang untungnya diisi oleh orang-orang
menarik. Pagi ini saya membaca tentang teman yang kehilangan mentor politiknya,
teman yang menceritakan pengalamannya naik gunung baru-baru ini dan teman yang
ingin pulang.
Pulang. Kata sederhana yang berarti banyak bagi
anak rantau. Sesederhana merindukan
keluarga atau orang yang dicintai. Sesederhana kembali ke pelukan seseorang. Sesederhana
menghirup dan merasakan semua bau, rasa dan hal-hal yang familier. Yang didekap
di dalam dada hampir sepanjang hidup dan dibawa kemana pun kita pergi.
Namun, hari ini, hari kesekian saya dikelilingi
perasaan kebas yang tak ketahuan ujung pangkalnya ini. Ketika saya membaca
status teman yang ingin pulang tersebut, saya bertanya kepada diri sendiri.
Apakah konsep pulang itu? Apa arti rumah? Apakah rumah dan pulang bisa
diartikan sebagai suatu kesatuan? Tempat dimana begitu banyak hal tercinta
berkumpul ataukah seseorang atau orang yang kita cintai? Apakah rumah hanya
sekedar tempat tinggal? Atau mengenai mereka yang begitu melekat di hati.
Saya percaya bahwa di mana hartamu berada, di situ
pula hatimu berada.
Tetapi, hari ini, sambil mendengarkan suara pagi, saya kembali mempertanyakan arti pulang.
Cheers,
Amel
Amel
Sunday, August 24, 2014
Pilihan
Malang, 24 Agustus 2014
Beberapa tahun yang lalu – 10 tahun
yang lalu lebih tepatnya, ketika lulus
dari SMA dan dihadapkan pada pilihan untuk menentukan jurusan di perguruan
tinggi, saya sempat bingung untuk menentukan apa yang ingin saya pelajari. Antropologi
– mata pelajaran favorit saya karena bisa mempelajari budaya suatu suku ataupun
bangsa – namun, universitas yang membuka fakultas antropologi saat itu hanyalah
Universitas Cendrawasih, pilihan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh kedua
orang tua saya karena jauh dan tak punya prospek masa depan kata mereka; ada Akuntansi – karena saya merasa bahwa cukup
mengerti mata pelajaran ini; ada komunikasi – fakultas baru di Universitas
Brawijaya yang sedang menjadi tren tahun itu selain Desain Komunikasi Visual.
Atau pilihan terakhir, hukum. Bukan karena saya menyukai undang-undang yang
menurut saya ruwet, tapi karena menurut saya, jika kita mengetahui suatu
peraturan dengan baik, maka kita bisa juga mengerti celahnya. Bukankah sebagian
besar penjahat kerah putih adalah mereka yang sebenarnya lebih mengerti aturan
daripada para orang awam? Sesederhana dan selicik itu.
Menjadi pilihan kedua saya ketika
mengikuti ujian penerimaan mahasiswa baru di Universitas Brawijaya, Tuhan
mengijinkan saya untuk mempelajari hukum selama 5 tahun (iya, 5 tahun, saking
cintanya sama kampus dan belum sanggup menghadapi dunia nyata. Hahahahaha).
Di penghujung masa kuliah pun,
ada pilihan yang harus saya putuskan. Salah satunya mau jadi apa saya setelah
lulus. Hakim dan jaksa bukan pilihan untuk saya, terlalu abu-abu dan nggak
punya uang. Saya bisa menjadi pengacara, benar ataupun salah, siapapun klien
saya, mereka yang saya bela. Atau menjadi bagian pengelolaan sumber daya
manusia. Saya kembali memutuskan, akan lebih baik jika saya menjadi seorang HRD
daripada hakim, jaksa maupun pengacara. Toh pilihan tersebut masih membuat saya
bekerja dan mengamati manusia.
Pilihan tersebut, baru mendapatkan
kesempatan 4 tahun kemudian, setelah berkeliling ke beberapa kota. Tawaran
untuk menjadi HRD tersebut diberikan oleh seorang teman lama, untuk bersama dia
dan anggota tim yang lain menjadikan perusahaan yang dia miliki menjadi lebih
baik daripada sebelumnya. Saya pun menerimanya. Mimpi, cita-cita dan pilihan
saya menjadi kenyataan.
Sepuluh hari yang akan datang,
saya akan merayakan ulang tahun saya yang pertama di perusahaan ini. Di luar
perkiraan saya, justru orang-orang yang bekerja bersama saya inilah yang
mengajari saya begitu banyak hal. Pelajaran demi pelajaran saya dapatkan setiap
harinya. Marah, ngomel, sakit hati, migrain sampai sakit lambung jadi makanan
setiap hari. Tapi, semua itu terlupakan atau terlewati dengan mulus ketika saya mendapatkan
partner kerja yang luar biasa, pimpinan yang bijaksana, bergelas-gelas kopi
(almost no beer and ciggy for me in my hometown) dan tentu saja, obat migrain
(ha!).
Tulisan ini adalah tulisan pembuka,
karena dalam beberapa waktu ke depan, saya akan menuliskan beberapa pelajaran
yang saya dapatkan selama saya bekerja dan bergabung bersama dengan tim yang
luar biasa ini selama satu tahun terakhir. Tentang manusia, yang di balik semua
penampilan mereka, punya cerita yang selalu menarik untuk diceritakan dan
dijadikan pelajaran hidup bagi saya.
Karena seseorang pernah
mengatakan bahwa hidup terlalu singkat untuk menjalani semua pembelajaran, yang
baik maupun yang buruk. Sehingga yang bisa kita lakukan adalah belajar dari
orang-orang yang ada di sekitar kita. Bukankah seseorang ada dalam kehidupan kita
karena ingin mengajari kita sesuatu?
Cheers,
Amel
P.s : I dedicated this note for all of my ex-bosses (Mr. Andri, Mr. Tritan, Mr. Sherwin), without all of you, I never got this opportunity to reach one of my dreams today. What I've learnt from all of you yesterday, made who I am today. Special thanks for you, Mamak Bos, thank you for giving me this opportunity. I am so much blessed.
A Proper Goodbye
Malang, 24 Agustus 2014
Minggu pagi ini berbeda seperti minggu pagi saya
biasanya. Terbangun terlalu pagi untuk ukuran hari Minggu, saya memutuskan
untuk menyeduh segelas besar kopi – hitam, bukan cappucinno seperti biasanya.
Menghidupkan Rudolph si laptop yang akhir-akhir ini kegunaannya lebih untuk nonton
film daripada bekerja. Hehehe.
Ada beberapa ide yang muncul sejak lama di kepala
saya, namun seringkali dengan alasan sibuk – alasan penting yang dibuat untuk
menutupi alasan sebenarnya, yaitu malas – akhirnya tidak saya tuliskan. Dan
karena hari ini saya sedang tidak punya kesibukan sampai dengan siang nanti,
kenapa saya tidak menuliskannya sekarang.
Logo wifi yang menyala membuat saya membuka
terlebih dahulu akses google chrome saya daripada microsoft word. Kebiasaan
buruk. Website pertama yang saya kunjungi, tentu saja facebook. Namun, hanya
tertahan selama 5 menit karena semua inbox dan notifikasi yang masuk sudah saya
baca semuanya. Mendadak, saya teringat beberapa situs yang sudah lama tidak
saya kunjungi, terutama sejak saya pindah dari Jakarta. Salah satunya adalah
situs milik mbak Windy (http://windy-ariestanty.tumblr.com/).
Setelah dibuat tertawa terpingkal-pingkal karena
tulisannya mengenai Raditya Dika, saya mendadak terdiam membaca tulisannya mengenai
Perpisahan Yang Baik. Ingatan saya kembali ke masa tiga tahun silam, ketika
saya mengucapkan selamat berpisah kepada #vleermuisman.
Saya sempat bertanya dengan salah seorang sahabat
saya, betapa meskipun sudah berusaha melupakan dan mengucapkan selamat tinggal,
terkadang melihat beberapa foto yang dia unggah ke sosial medianya (yep, kami
masih berteman baik sampai dengan saat ini J)
masih membuat jantung saya main trapezze sama hati saya. Aneh ya. Tapi, sahabat
saya hanya mengatakan, “kamu mungkin harus bertemu #vleermuisman untuk terakhir
kali, bertatap muka secara langsung, hanya untuk mengatakan selamat tinggal.”
Saya ingat, saya hanya menunduk terdiam.
Pertemuan perpisahan itu tidak pernah terjadi. Dan
saya tidak tahu, apakah akan pernah bisa terjadi.
Karena teman saya benar.
Terkadang mengucapkan selamat berpisah secara
langsung – bahkan tanpa perlu mengatakan alasannya sama sekali – diperlukan
agar nantinya kita tidak terus menerus menoleh ke belakang tanpa ada
pertanyaan: kenapa?
Sama seperti teman Mbak Windy yang bisa jadi hanya
membuang uang entah berapa banyak untuk melakukan perjalanan dari Jepang ke
Prancis, mungkin hanya untuk mengatakan: selamat tinggal, kita berpisah di
sini.
Karena kalau kita bisa jatuh cinta tanpa alasan,
kenapa kita tidak boleh berhenti mencintai tanpa alasan juga?
Cheers,
Amel
Amel
P.s : Dear #vleermuisman, Als je dit briefje te
lezen, en je wilt om mij te ontmoeten. Je weet hoe je me te vinden.
Wednesday, July 9, 2014
#MemilihUntukMemilih
Malang, 9 Juli 2014
This is the day!
The election day is coming!
The election day is coming!
Euforia pemilihan umum kali ini sangat luar biasa. Hampir selama satu bulan terakhir semua media sosial yang saya miliki, pembicaraan dengan keluarga di rumah maupun teman-teman atau tontonan di televisi berkutat di pemilihan presiden 2014 ini. Gaung yang luar biasa, karena untuk kali ini, orang-orang muda negeri ini, orang-orang yang saya kenal – di mana pun mereka berada, memutuskan untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk saya.
Hari
pemilihan umum, sebenarnya, adalah salah satu hari paling menyebalkan
untuk saya, karena suka tidak suka, saya akan beradu pendapat dengan
kedua orang tua saya. Mereka yang punya pendapat garis keras bahwa
memilih adalah kewajiban saya sebagai warga negara beradu dengan
pendapat keras kepala saya yang menyatakan bahwa memilih adalah hak.
Oleh karena itu, sekeras apapun usaha orang tua saya untuk meminta
saya menggunakan suara saya, selalu saya tolak. Bagi saya, memilih
berarti saya bertanggung jawab atas pemimpin pilihan saya. Jika saya
memilih dan pemimpin yang saya pilih buruk, saya punya andil meski
secuil kecil atas kemenangannya. Namun, jika saya tidak memilih,
tanpa beban apapun, saya bisa mengatakan, “ya, namanya juga
pemerintah. Brengsek kayak biasa.” Datar, lempeng, karena saya
memang tidak ikut ambil bagian apapun untuk menjadikannya pemimpin.
Pemilihan presiden
kali ini pun dimulai dengan sikap masa bodoh yang sama. Ya, saya
sudah pernah mendengar mengenai sepak terjang Jokowi, yang begitu
dipuja oleh warga Solo, yang berani mendongkrak patron yang ada
mengenai memilih wakil seperti Ahok dan aksi blusukannya yang
melegenda. Prabowo? Sedikit sekali yang saya ketahui mengenai dia
dari media, kecuali bahwa dia pernah menjadi calon wakil presiden
untuk Megawati di Pemilu 2009 dan dia memiliki latar belakang serius
terkait keterlibatannya dalam peristiwa Mei 1998. Sebulan yang lalu,
saya tidak peduli sama sekali. Sampai saya mendengar berita mengenai
kunjungan Babinsa ke rumah-rumah penduduk yang ada di sebuah
perumahan
(http://nasional.kompas.com/read/2014/06/05/0957038/Datang.Rumah.ke.Rumah.Anggota.Babinsa.Arahkan.Warga.Pilih.Prabowo)
Saya
ingat sekali ada rasa tercengang dan marah ketika saya membaca
tulisan yang dimuat di kompas.com tersebut. Seperti kembali ke masa
ketika banyak warga negara yang tidak memiliki rasa aman untuk
menjalani kehidupannya dari segi apapun, terutama dalam hal kebebasan
mengeluarkan pendapat. Negara memiliki kewajiban mutlak untuk
memberikan rasa aman kepada setiap warga negaranya. Bisakah anda
semua membayangkan, seorang calon presiden – calon, belum menjadi
pemimpin negara – sudah bisa menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman
bagi masyarakat? Apa jaminannya dia bisa memberikan rasa aman dan
memberikan hak asasi bagi setiap warga negara?
Debat
capres-cawapres pada tanggal 8 Juni 2014 adalah titik ketika saya
memutuskan untuk menggunakan hak pilih saya hari ini. Topik mengenai
pelanggaran HAM adalah topik utama yang membuat saya mengambil
keputusan.
Saya
tidak mau, di masa yang akan datang, saya dan orang-orang yang ada di
sekeliling saya – keluarga maupun teman, apapun posisi, suku, agama
dan pandangan politiknya – hidup dalam ketakutan. Ketakutan untuk
tidak bisa bebas mengemukakan pendapat, ketakutan untuk tidak bisa
berkembang hanya karena dia memiliki suku tertentu, ketakutan untuk
tidak bisa menjalankan ibadah agamanya. Saya juga tidak mau,
anak-anak saya nantinya lahir dan hidup di dalam negara yang tidak
menghargai kebhinekaan yang seharusnya menjadi inti dasar Indonesia
yang luar biasa ini. Saya memiliki mimpi, semua orang memiliki
kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri dan dihargai oleh orang-orang
di sekitarnya dan didukung oleh negara melalui konstitusi yang ada.
Terlihat
muluk, tetapi saya percaya, suatu hari nanti hal tersebut akan
terwujud.
Dan
hal itu dimulai dari sekarang,melalui pemilihan presiden hari ini.
Oleh
karena itu, hari ini, saya memilih untuk memilih. Saya memilih untuk
memberikan suara saya untuk kehidupan yang lebih baik, bagi saya,
keluarga, teman-teman dan anak-cucu saya nantinya.
Untuk Indonesia, yang lebih baik daripada hari ini.
Untuk Indonesia, yang lebih baik daripada hari ini.
Selamat
berpesta demokrasi, saudara-saudariku. Pilihlah sesuai hati nurani
anda semua, untuk Indonesia yang lebih baik dan merdeka, tidak hanya
untuk hari ini tapi yang terutama untuk generasi penerus kita
nantinya.
Selamat
memilih!
Cheers,
Amel
Amel
Subscribe to:
Posts (Atom)