Monday, March 5, 2012

Belajar Mendengarkan



Jakarta, 3 Maret 2012

Tulisan ini saya buat di dalam kamar kost saya. Sesuatu yang cukup jarang terjadi, mengingat biasanya hal yang saya lakukan dalam kamar ini hanya tidur, membaca dan beberes. Jarum jam di samping kipas angin menunjukkan pukul 11. 37. Hampir tengah malam. Tapi entah kenapa, saya malas untuk tidur. Meskipun migraine saya masih melanda dan sudah menenggak obat untuk mengusir penyakit yang luar biasa menyebalkan itu. Mata, tangan dan otak saya ternyata memiliki rencana lain.

Ide untuk menulis mengenai hal ini terjadi di saat paling inspirasional. Ketika kepala saya diguyur oleh air dingin secara konstan hampir satu jam yang lalu. Saat inspirasional, seperti 10,000 manusia lain di planet ini.

Di kantor, ruangan saya berada di lantai satu. Tempat saya berbagi ruangan dengan tiga orang yang lain. Dua di antaranya lebih sering berada di luar kantor. Sementara saya dan seorang teman yang lain cukup bahagia dengan berada di dalam ruangan. Di sebelah ruangan kami tersebut, merupakan kantor seorang pengacara. Lelaki tua berumur 60 atau 70 tahun, berperawakan kecil dan bertingkah laku (menurut saya) luar biasa menyebalkan.

Hal yang paling membuat saya sebal setengah mati adalah kata-kata favoritnya, “saya direktur di sini!!”. So?? Selama anda tidak bersikap seperti direktur, buat saya anda bukan. Salah satu karakter menyebalkan dari manusia seperti saya. Menurut saya, penghargaan membutuhkan usaha, bukan hanya kata-kata. Teman saya yang juga sering berada seruangan dengan saya, memiliki karakter yang jauh lebih sabar, selalu menyapa bapak tersebut dan sepertinya menjadi anak kesayangan Pak Haji (saya ngakak ketika mengetik kalimat ini). Saya, tidak pernah iri, hanya kagum saja terhadap kesabarannya.

Hari demi hari berlalu, dan saya seperti yang selalu saya lakukan terhadap orang yang tidak saya sukai, tidak menganggap orang tersebut ada. Sikap menyebalkan saya yang lain.

Beberapa hari yang lalu, ketika saya sedang lembur di kantor karena seharian saya harus mewawancarai calon crew kapal, Bapak tersebut duduk di seberang saya. Entah setan atau malaikat apa yang merasuki saya saat itu, saya menanyakan mengapa beliau belum pulang. Ia mengatakan bahwa dia sedang menunggu. Menunggu waktu sholat Isya, menunggu jam selesai 3 in 1 dan jalanan yang tidak terlalu macet karena dia harus mengemudi seorang diri, sopir yang selama ini bekerja padanya sudah mengundurkan diri. Saya terperangah. Jarak rumah dan kantor yang begitu jauh dengan usia beliau saat ini, cukup membuat saya khawatir, dan hal ini membuat saya mengatakan untuk hati-hati (jujur saja, kalau diingat-ingat lagi, ini cukup menyebalkan karena saya bisa dimanipulasi secara emosional). Dan dari sanalah pembicaraan kami mulai mengalir.

Pak Haji tersebut menceritakan masa-masa sekolahnya, pacarnya yang berganti-ganti, istri dan mertuanya yang asli ‘wong jowo’, serta pengalaman masa-masa dinasnya selama menjabat sebagai jaksa. Beliau bahkan menyanyikan lagu Malam Kudus serta mendaraskan doa Bapa Kami dalam bahasa Inggris, hasil ajaran romo-romo di sekolah Belanda tempatnya menimba ilmu bertahun yang lalu.

Saya tertawa, menangis dan menimpali ceritanya dengan beberapa kata sambil mendengarkan. Dan saya tersadar, orang tua yang duduk di hadapan saya saat ini hanya ingin untuk didengar. Apa yang dia katakana selama ini adalah usahanya untuk didengar dan diperhatikan. Kebutuhan untuk tetap dihargai meskipun usianya mulai senja dan dikelilingi oleh orang-orang muda. Kebutuhan yang akan selalu ada dan dibutuhkan oleh orang-orang di usia seperti beliau.

Kebutuhan untuk didengar. Sesederhana itu. Untuk meyakinkan dirinya bahwa ia masih dihargai.

Malam itu, saya membuat status di akun social media saya, “Listening The Lord Prayers from Pak Haji, I am crying.. Who said Moslems people can’t respect others religion?” Salah satu komentar yang saya dapatkan atas status tersebut adalah, “ jangan bilang lo jatuh cinta sama Pak Haji?” berasal dari teman seruangan saya yang selalu dengan sabar menghadapi pengacara sepuh tersebut. Dan saya hanya bisa tertawa. Karena saya, untuk kesekian kalinya terbukti salah dalam menilai orang.

Hari itu, saya belajar untuk mendengar. Mendengar bukan hanya memperkaya saya dengan berbagai pengalaman dan kisah hidup orang lain. Mendengarkan berarti belajar memberikan penghargaan terhadap hidup orang lain.

Dan dalam paragraf terakhir ini, meskipun mungkin dalam sebulan ke depan saya akan ditertawakan habis-habisan, I dedicated this note for you, Uni Milly. Saya takjub dengan kemampuanmu mendengarkan orang lain yang terkadang saya anggap tak penting atau menyebalkan. Sekarang saya tahu, mereka hanya meminta hal sederhana pada kita, orang muda. Waktu untuk mendengarkan.

Cheers,
Amel

P.S : Umur emang nggak bisa dibohongi ya, uni.. keliatan mana yang masih anak kecil… Mana yang emang udah…. Tua!!!! Yeaaaahhhh!!!!!!!!! *dirudal dari Pondok Gede* \m/

No comments:

Post a Comment