Batu, 7 Desember 2013
Hujan masih heboh di luar, Alejandro
Manzano masih bernyanyi manis di telinga saya. Dan tangan saya tak
mau berhenti menggoreskan kata demi kata yang ada di otak saya.
Resmi berumur di atas 25 tahun atau menyelesaikan kuliah berarti harus siap dengan pertanyaan, “Kapan nikah?” dari keluarga besar, teman keluarga, teman maupun keluarga mereka, atau bahkan orang yang sama sekali tidak kita kenal – petugas pom bensin langganan saya, misalnya. Well, saya sendiri setahun terakhir begitu sering diberi pertanyaan ini hampir oleh siapapun – Alhamdullilah, bukan orang tua saya yang menanyakan – dan dimana saja. Pertanyaan basa-basi paling menyebalkan yang pernah saya tahu. Hahahaha. Jengah diberi pertanyaan seperti itu? Agak. Malas dengan pertanyaan 'Kapan Nikah' yang terus menerus diajukan? Pastinya! Seolah tidak ada pertanyaan lain yang lebih bermutu untuk diajukan.
Resmi berumur di atas 25 tahun atau menyelesaikan kuliah berarti harus siap dengan pertanyaan, “Kapan nikah?” dari keluarga besar, teman keluarga, teman maupun keluarga mereka, atau bahkan orang yang sama sekali tidak kita kenal – petugas pom bensin langganan saya, misalnya. Well, saya sendiri setahun terakhir begitu sering diberi pertanyaan ini hampir oleh siapapun – Alhamdullilah, bukan orang tua saya yang menanyakan – dan dimana saja. Pertanyaan basa-basi paling menyebalkan yang pernah saya tahu. Hahahaha. Jengah diberi pertanyaan seperti itu? Agak. Malas dengan pertanyaan 'Kapan Nikah' yang terus menerus diajukan? Pastinya! Seolah tidak ada pertanyaan lain yang lebih bermutu untuk diajukan.
Beberapa hari yang lalu ketika saya dan
beberapa orang teman sedang bercanda, salah seorang dari kami iseng
bertanya, “Apakah si X cantik?” Teman pria saya yang diberi
pertanyaan tersebut menjawab, “Tentu saja cantik, khan si X
sebentar saya menikah.” Jawaban tersebut membuat saya bertanya,
“Apakah status seseorang yang akan menikah dan single bisa
mempengaruhi kadar kecantikan seseorang?” Sambil tertawa, teman
saya menjawab, “Ya.”
Jawaban tersebut membuat emosi saya
tersulut.
Bagaimana bisa, kecantikan seseorang
diukur berdasarkan, apakah orang yang sudah menikah sudah 'laku' atau
belum.
Pertanyaan saya berikutnya kepada teman
saya – yang merupakan satu-satunya lelaki di ruangan itu –
adalah, “Jadi, tidak peduli sepintar apapun seseorang, setinggi
apapun pendidikannya, sebaik apapun jabatannya, semua itu tidak
berarti, kalau dia belum dilamar seseorang atau sudah menikah?” Dan
teman saya menjawab, “Ya, khan kodrat perempuan adalah untuk
mengurus suami, anak dan keluarganya.”
Saya pun tertawa terbahak dengan sinis.
With all due respect to all marriage
couple, marriage institution and my parents.. This is one of the
stupid statement and conversation I've ever heard and did as long as
I live.
Saya memang dibesarkan di tengah kultur
Jawa yang cukup kental, meskipun Ibu saya hanya seperempat berdarah
Jawa. Puji Tuhan yang luar biasa, kedua orang tua saya tidak pernah
mengajarkan dan menekankan 3M yang luar biasa terkenal dari ajaran
Jawa itu, dimana kodrat perempuan adalah Macak – Manak – Masak
(Berdandan – Memiliki Anak – Memasak).
Jaman memang sudah berubah ke tahun
2013, akan tetapi, seperti yang dibuktikan dalam percakapan antara
saya dan teman saya di atas, pemikiran seseorang kadang tidak
sepenuhnya mengikuti perkembangan jaman yang ada.
Ibu saya – one of my idol, wanita
luar biasa dalam hidup saya – mengajarkan bahwa seorang wanita
harus memiliki mimpi, mengejar cita-citanya, bersekolah setinggi yang
ia mau, pergi kemana pun yang ia inginkan untuk melihat dunia, serta
memiliki penghasilan sendiri. Dan pada akhirnya, ketika mereka –
terutama kami, putri-putrinya – sudah siap berumah tangga dengan
pria yang kami pilih untuk mendampingi hidup kami dan saling
mencintai, beliau dan ayah saya akan memberikan restu mereka dengan
sepenuh hati.
Dibesarkan dengan pemikiran seperti
ini, membuat saya memiliki pemikiran yang cukup berbeda dengan
beberapa orang yang saya kenal. Atau pun, anda yang membaca tulisan
ini.
Bagaimana tidak? Saya dibesarkan dengan
pemikiran bahwa pemikiran harus dijalani dengan saling menghormati,
dimana pihak perempuan tidah hanya bertugas untuk 3M saja, tapi untuk
berbagi hidup dengan pasangannya. Saya belajar, bahwa pernikahan
bukanlah keharusan supaya tidak dicemooh atau dikasihani oleh
masyarakat karena dianggap 'tidak laku'. Pernikahan bukanlah kodrat
yang wajib dijalani, tetapi pilihan; yang ketika diambil oleh para
pihak yang berkomitmen di dalamnya, benar-benar meyakini dan
menjalankan sumpah yang mereka buat di hadapan Tuhan,
pendeta/romo/penghulu dan sekian orang saksi : dalam suka maupun
duka, dalam sehat maupun sakit, saat kaya maupun miskin, sampai maut
memisahkan.
Pernikahan,
menurut saya, adalah langkah besar, dimana satu sama lain saling
melepaskan kebebasannya dan bersandar pada pasangannya, memasrahkan
hati dan jiwa mereka dalam setiap situasi dan kondisi pada
pasangannya. Langkah, yang diambil karena memang sudah siap untuk
ditempuh, bukan karena 'memang sudah waktunya' atau 'malu karena
terus-menerus ditanyai oleh tetangga dan keluarga besar'. Atau 1001
alasan lainnya.
Jadi,
apakah saya akan menikah suatu hari nantinya? Ya, saya masih
menginginkan hal tersebut seperti 80% penduduk dunia. Tapi, hal
tersebut akan terjadi karena saya memang memilih untuk mengikatkan
hidup saya pada seseorang yang saya percayai dengan sepenuh hati dan
jiwa saya. Bukan karena alasan dangkal yang diberikan oleh beberapa
orang.
Mungkin,
bagi beberapa orang yang membaca tulisan ini menganggap saya gila,
bodoh, menyebalkan, tidak menyadari kodrat saya sebagai perempuan,
dst, dst. Anda semua benar. Saya mungkin seperti yang Anda pikirkan,
karena Anda memiliki pemikiran sendiri seperti saya juga memiliki
pemikiran sendiri yang berbeda dari Anda.
Have a great weekend for all of you!
Have a great weekend for all of you!
Cheers,
Amel
Amel
N. B : I have an amazing parents and
super Mom. I am blessed to have both of you. Thank you for all of
your support. I love you! :*
No comments:
Post a Comment