Sunday, December 30, 2012

A Lesson From Abarat



 
Jakarta, 29 Desember 2012

Saya mulai membaca Abarat sekitar awal tahun 2000 (saya lupa kapan tepatnya). Saya tertarik dengan sampulnya yang berwarna biru tengah malam. Dan semakin saya membaca buku karangan Clive Baker itu, saya jatuh cinta. Sama seperti saya jatuh cinta kepada Christopher Paolini dan J.K. Rowling. Lebih menakjubkan lagi, Baker menyelipkan banyak puisi, entah itu milik orang lain ataupun miliknya sendiri, di dalamnya. Beberapa waktu yang lalu, sambil menunggu film Life of Pi di salah satu Cineplex dimulai, saya iseng berkeliling ke gerai buku diskon Gramedia. Dan di salah satu rak di bagian paling belakang toko, tergeletak, lanjutan buku Abarat. Kali ini sampulnya berwarna oranye. Dan didiskon!!! *bahagia lahir batin* Tidak perlu menunggu lama (saya bersyukur luar biasa, hari itu adalah salah satu hari dimana saya baru saja gajian), saya membawa lanjutan Abarat itu ke kasir. Dan di bagian prolog, bagian yang saya kutip di tulisan sebelumnya, saya tercenung. Baker menulis, “Orang-orang yang kejam terhadap sesamanya selalu menyimpan rasa takut.”

Saya tidak benar-benar menyadari mengenai kebenaran kalimat tersebut sampai hari Rabu yang lalu. Like wise man said, there is no such things like coincidence.

Hari ini, dimulai dengan biasa-biasa saja. Meskipun, entah mengapa, seminggu terakhir penyakit insomnia saya melanda. Kandidat yang akan saya interview hari ini, hanya beberapa orang. Ruang tunggu interview hari ini tidak sepenuh hari-hari lain.

Menjelang jam 10 pagi, datang seorang laki-laki yang pakaiannya biasa-biasa saja. Hanya mengenakan kemeja putih bergaris-garis  (yang sudah agak menguning) dan celana krem. Kalau bahasa orang yang bekerja di dunia perhotelan, grooming orang tersebut biasa-biasa saja. Dari awal dia datang, tanpa sepatah kata pun, tatapan menyebalkan langsung menuju kamar mandi. Setelah itu, dia keluar dengan nada sengak dia mengatakan ingin menemui seorang teman saya untuk interview. Saya mengatakan untuk menuliskan namanya dan mengambil nomor antrian. Kemudian saya masuk ke dalam untuk menghidupkan kembali video yang sudah mati. Ketika saya keluar, ternyata penghitung jumlah antrian di mesin tidak menunjukkan perubahan. Artinya, kedua kandidat yang baru datang belum ada yang mengambil nomor antrian. Maka saya mengatakan di depan semua orang, bahwa mereka yang datang untuk wawancara tapi tidak mengambil nomor antrian, tidak akan diwawancara.

Dan di sanalah drama dimulai.

Dengan nada nyolot, bapak dengan baju menguning itu mulai mengatakan bahwa saya tidak memberitahukan bahwa dia harus menekan tombol antrian – padahal itu adalah kalimat standar pertama yang saya  ucapkan pada siapapun yang datang untuk melamar pertama kali di kantor saya. Dan seterusnya, dia mulai mempermasalahkan nada suara yang saya gunakan dan dengan nada congkak dan sombong di hadapan banyak kandidat – dia memberikan contoh dirinya sendiri sebagai seorang pelamar hanya melihat situasi kantor yang akan dilamar, layak atau tidaknya perusahaan tersebut dia terima, pengalamannya yang sudah bekerja di beberapa restoran di luar negeri (dia melamar sebagai restaurant manager, by the way) dan kapal pesiar – dia mengatakan saya tidak pantas bekerja di perusahaan multinasional, mempertanyakan pendidikan saya,menghina saya secara fisik dan bersikap rasis – karena aksen saya yang masih kental aksen Jawa Timur – dia mengatakan bahwa saya yang orang Jawa tidak pantas untuk bekerja di Jakarta.

Serangan verbal yang sangat menyakitkan.

Tapi yang saya lakukan hanyalah tertawa dan tertawa.

Mengatakan bahwa dengan attitude menakjubkan yang dia miliki, dia tidak pantas berada di dunia hospitality dan dengan senang hati saya mengatakan kepada manager, GM maupun owner untuk tidak mempekerjakannya sebagai manager untuk restoran kami.

Apakah saya menangis? Tentu saja. Saya menyesal setengah mati karena tidak menghantam manusia brengsek itu tepat di wajahnya menggunakan mesin antrian yang lumayan berat selama dia mengeluarkan semua hinaannya tersebut. Meskipun setelah dipikir-pikir lagi, saya senang saya tidak melakukannya. Pekerjaan saya jauh lebih berharga daripada provokasi verbal seperti itu.

Manager saya memutuskan untuk berbicara kepada orang tersebut dan melanjutkan prosesnya, memberikan tes bahasa inggris kepada dia sebagai seleksi awal penerimaan karyawan di kantor saya. Meskipun pada akhirnya, dia membuat keributan lagi dengan dua orang rekan saya yang ditugaskan untuk menangani dia. Dia gagal dalam menjalani tes bahasa Inggris tersebut. But, that’s not my business anymore, right?

Setelah saya menenangkan tangan saya yang gemetar dan menata perasaan, saya mulai melacak semua catatan pekerjaannya. Well, special thanks with sunnyside eggs to Eyang Google, saya berhasil mengetahui bahwa laki-laki berusia 38 tahun tersebut merupakan lulusan D3, sudah satu tahun terakhir ini menganggur, dengan pekerjaan terakhir sebagai salah satu manajer restoran fast food Jepang, hanya memiliki satu kali kontrak di kapal pesiar dan semua pekerjaan yang – dikatakan penuh kesombongan – dikerjakan di luar negeri tersebut, tidak bisa dibuktikan dengan adanya sertifikat kerja.

Dan setelah saya mengetahui semua fakta mengenai orang tersebut, saya teringat petikan paragraph dari prolog buku kedua Abarat tersebut. “Orang-orang yang kejam terhadap sesamanya selalu menyimpan rasa takut.” Dalam hal ini, mungkin bukan rasa takut, tapi frustasi, atau apapun namanya.  Dan kekejaman tersebut dia lontarkan secara verbal dengan nada sombong dan penuh kebencian kepada saya.

Selama hampir satu tahun terakhir menjadi petugas yang mewawancarai calon crew kapal pesiar, saya mendapati, justru mereka yang punya pengalaman bertahun-tahun di kapal pesiar, memiliki jabatan yang cukup tinggi (FYI, promosi di atas kapal yang normal didapatkan dengan kerja keras dan mental baja) mereka malah orang-orang yang sangat rendah hati, menghargai manusia lain dan mengikuti semua prosedur yang ada. Dan saya, sangat menghargai orang-orang tersebut. Mereka, yang sudah melihat begitu banyak, tapi tetap berpijak di bumi, tanpa perlu menyombongkan pengetahuan yang mereka miliki.

Saya mempelajari beberapa hal hari itu. Saya belajar bahwa kata-kata bisa merusak kepercayaan diri seseorang. Saya belajar bahwa seseorang yang kejam pada orang lain hanyalah tameng atas ketakutan-ketakutan mereka sendiri, ketakutan bahwa sebenarnya orang lain jauh lebih baik daripada mereka. Saya belajar untuk tetap rendah hati, sebanyak apapun pengalaman yang kita miliki karena pepatah di atas langit masih ada langit itu benar adanya. Saya belajar bahwa seburuk apapun orang memperlakukanmu, stand still! Put a smile on your face and DO NOT EVER push yourself down to their level.

Dan yang terpenting adalah, saya belajar untuk memaafkan. Memaafkan orang yang tidak saya kenal tapi menyakiti hati saya. Memaafkan meski mungkin dia tidak membutuhkannya. Saya memaafkan, supaya langkah saya tidak terbebani oleh dendam dan kekesalan saya kepada dia.

Hari itu, meskipun menyakitkan, saya mempelajari hal-hal penting untuk hidup saya. Saya bersyukur, karena menurut saya, saya melewati ujian saya dengan baik.

Cheers,
Amel

P.s : Menulis buat saya adalah suatu terapi. Proses mengeluarkan racun dari hati, jiwa dan pikiran saya. Tepat setelah saya selesai menuliskan catatan ini, hati saya terasa ringan luar biasa. J
 

No comments:

Post a Comment