Wednesday, August 10, 2011

Sepatu Vs. Sandal Jepit

Surabaya, 12 Mei 2011

Sepatu Vs. Sandal Jepit

Tulisan ini awalnya dibuat pada bulan Mei 2011, akan tetapi karena kesibukan dan terutama kemalasan, pada akhirnya baru diselesaikan di pertengahan bulan Agustus ini. Cerita seru yang saya dapatkan ketika menemani seorang teman menjaga booth di pameran komputer.

Kamu bisa menilai seseorang friendly atau gak ketika dia pake sepatu dan kamu pake sandal jepit sky way, tapi dia masih mau menyapa/kenalan sama kamu…

Hampir seminggu terakhir ini saya lagi suka banget kemana-mana lagi pakai sandal jepit sky way warna biru tua. Awalnya saya beli sandal itu karena terpaksa, tapi lama kelamaan sih jadi nyaman. Sandal jepit itu jadi andalan saya untuk kemana-mana kecuali untuk dipakai di kost atau ketemu klien di kantor. Yah, tapi emang pada dasarnya saya manusia cuek bebek sih. Kaos oblong, celana jeans, sandal jepit dan back pack pun bisa jadi andalan saya kemana-mana.

Hari ini, saya nemenin salah satu teman yang jaga pameran computer di salah satu mall besar di Surabaya. Dengan dandanan pulang kantor : jaket, celana panjang, tampang tanpa make up, rambut awut-awutan, back pack hitam favorit… dan nggak lupa, sandal jepit kinclong kesayangan baru. Dengan dandanan gembel macam begitu, salah satu keuntungan ketika masuk ke tempat pameran seperti itu adalah nggak bakalan ada sales yang tertarik untuk bagikan brosurnya untuk saya atau memaksa saya mendengarkan penjelasan mereka :p.

Salah satu petugas yang menjaga booth pameran barengan teman saya itu perwakilan dari kantor pusat Jakarta. Dandanannya sih lumayan perlente, klasik eksekutif muda di ibukota. Pengalaman saya sebagai manusia selama ini mengajarkan bahwa apabila ada orang baru yang duduk satu meja dengan saya, maka saya akan mengulurkan tangan dan berkenalan. Tapi (kemungkinan besar) karena tampang saya yang gembel tersebut, rekanan Jakarta yang perlente tersebut sama sekali tidak mengajak berkenalan or at least being friendly. Not at all. Yah, sayanya sih tidak ada masalah apa-apa, malah senang karena dari situ saya mendapatkan ide untuk tulisan ini.

Poinnya adalah, ternyata kadang semakin modern dan metropolis seseorang (atau mungkin bagi orang-orang tertentu), makin pentinglah suatu alas kaki untuk penilaian kita. Apa yang seseorang pakai atau sesuatu yang ditenteng kemana-mana menjadi faktor penting apakah orang tersebut berhak mendapatkan sikap ramah dari orang yang lain. Miris... Karena sesuatu yang menjadi patokan adalah luaran yang sebenarnya sangat tidak berharga (para koruptor berdandan terhormat dengan mobil mewah, pakaian branded dan sepatu keluaran luar negeri tapi berhati sampah).

Sebenarnya, ketika menulis paragraf di atas, saya jadi bertanya-tanya, bukannya kadang pun saya melakukan seperti itu. Ternyata ketika keadaannya dibalik, saya menjadi pihak yang tidak mendapatkan keramahan hanya karena baju atau sepatu yang saya kenakan tidak serapi atau bermerek seperti orang lain pakai.. hal tersebut sangat tidak menyenangkan. Dinilai, berdasarkan pakaian, bukan kemampuan atau hati yang saya miliki. Yah, satu pelajaran berharga dari hidup untuk tidak meremehkan orang-orang yang baru saya temui atau orang-orang yang selama ini ada di sekitar saya, hanya karena busana mereka.

Cheers,
Amel

No comments:

Post a Comment