Jakarta, 25 November 2012
Kembali ke tempat favorit saya di restoran fast food yang
remang-remang sekaligus diterangi gemerlap lampu kendaraan dan riuhnya
percakapan yang entah mengapa menurut saya berlebihan . Sepertinya sebagian
besar orang di sini ingin ‘didengar’ tanpa peduli bahwa tawa dan ucapan yang
mereka keluarkan cenderung mengganggu. Well, at least for me. But, since it’s a public places, I can’t complain, right?
Anyway, beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan
beberapa orang teman yang cukup lama tidak saya jumpai. Setelah cipika cipiki, kami
saling bertukar kabar. Pertanyaan-pertanyaan standar, dimana kami bekerja saat
ini, bagaimana kehidupan percintaan kami, kabar beberapa teman lain yang saat
ini entah berada dimana, dan seterusnya, dan seterusnya. Makanan dan minuman
terus tersedia di hadapan kami sementara obrolan dan tawa kami tidak pernah
berhenti di salah satu kopitiam milik juru masak terkenal itu.
Kemudian, salah satu teman saya, yang notabene, cukup
cantik, baru mendapatkan pekerjaan baru, punya pacar yang luar biasa sayang (kalau
nggak bisa dibilang cinta mati sama dia)… mulai mengeluh. Mengeluh tentang apa?
Tentang semuanya, termasuk hal-hal yang baru saya sebutkan di atas. Dan di
tengah riuhnya percakapan itu, saya terdiam. Bukan karena iri. Tapi takjub.
Karena dalam kehidupan seseorang yang bisa dibilang cukup sempurna itu, masih
ada hal yang bisa dikeluhkan.
Saya bukan manusia yang terlalu beriman. Dengan track record ke gereja yang akhir-akhir
ini begitu bolong-bolong, berdoa yang jarang-jarang. Saya merasa, hidup saya
yang masih diberi nilai : baik-baik saja sudah bukti Gusti Allah yang luar
biasa baik kepada saya. Gimana nggak? Jadi manusia yang dikasih nafas saja
harusnya sudah bersyukur, masih minta yang aneh-aneh dan jarang bilang terima
kasih kepada Dia yang sebenarnya tak terlalu menuntut kecuali setia itu.
Malam itu, ketika saya pulang, saya memikirkan kembali hidup
saya. Saya punya keluarga yang luar biasa. Ada papa dan mama yang tiap 2-3 hari
sekali menelepon hanya untuk menanyakan keadaan saya (termasuk memberikan
pinjaman uang ketika anak sulungnya yang boros ini kehabisan duit di
pertengahan bulan) dan ngobrol ngalor ngidul supaya hati anaknya nggak galau.
Atau adik-adik saya yang guyonan atau bbm-nya kadang nyebelin bin jayus tapi
bikin kangen. Ditambah lagi, saya punya pekerjaan tetap yang semengeluh apapun
saya, bisa saya gunakan untuk menopang hidup saya sehari-hari, bergaul kiri
kanan, dan kenalan sama anak-anak kapal (yang beberapa di antaranya kece dan
bisa dibuat partner flirting sebelum saya terjun ke dunia nyata beneran
*dikeplak berjamaah*), punya teman-teman seru yang memastikan saya memiliki
kehidupan lain di luar pekerjaan. Bisa makan bubur ayam babe Bank Mega saban
pagi, dan seterusnya, dan seterusnya. Setelah dipikir-pikir lagi… Panjang juga
ya, daftar hal-hal yang harus saya syukuri. Bayangkan saja, saya diberi hidup
sesempurna itu, tanpa perlu saya meminta. Nafas setiap pagi, tanpa saya perlu
meminta. Dia.. Baik luar biasa.
Malam ini, di tengah keriuhan kedai fast food dan kepulan
asap rokok yang ada, saya kembali berpikir. Kenapa, bersyukur yang seharusnya
suatu kewajiban, bagi beberapa orang (dan saya termasuk di antaranya) menjadi
sebuah pilihan. Ironis ya. Ketika satu-satunya hal yang bisa kita ucapkan
kepada Pemberi Kehidupan untuk semua berkat dan rahmatnya hanya berupa ucapan
terima kasih pun kita bisa enggan mengucapkannya.
Well, saya tidak bermaksud menggurui sedikit pun. Hasil dari
pertemuan hore sore itu sebenarnya jeweran sayang dari Papi J tercinta yang
sudah lama jarang saya ajak ngobrol tentang hidup saya (eniwei, saya juga
kangen ngobrol sama Papi paling seru ini). Jadi, apakah bersyukur itu termasuk
wajib atau pilihan, masing-masing orang bisa menjawab dengan versinya sendiri.
Cheers,
Amel
Cheers,
Amel